Dan saat langit pecah
lalu hujan tumpah ruah
aku berselimut rindu dan cemburu
tenggelam dalam haru biru
ini bukan puisi tentang kamu
ini juga bukan puisi rindu dan cemburu
Sunshine
Dan saat langit pecah
lalu hujan tumpah ruah
aku berselimut rindu dan cemburu
tenggelam dalam haru biru
ini bukan puisi tentang kamu
ini juga bukan puisi rindu dan cemburu
Sunshine
Langit itu atap dunia, Ri. Beberapa orang percaya disanalah tempat tinggal Tuhan, seperti setiap kali mereka berkata sambil menunjuk ke atas langit, “Itu sudah kehendak Yang Di Atas…”
“Lihat, Sayang! Awannya mirip badut!” kau menunjuk ke langit saat berada di boncengan belakang motorku.
“Ah, masa? Menurutku lebih mirip eskrim”
“Mana ada? Awannya lebih mirip badut nah!”
“Tidak, lebih mirip eskrim…”
“Badut..”
“Eskrim…”
Rasanya ada lima belas menit kita beradu pendapat tentang bentuk awan di langit sampai kau sadar aku hanya berniat mengganggumu.
Langit tersiksa dan menderita karena polusi udara dari bumi. Ia pasti sudah seringkali meminta pada Yang Maha Kuasa untuk menguatkan dirinya agar bisa menanggung segala beban bumi. Maka semakin cerah ia, semakin kecil tanggungannya. Semakin gelap ia, semakin berat pula tanggungannya. Ia melindungi bumi tapi manusia malah tidak peduli padanya. Ia memang sudah pantas marah. Langit memang sudah pantas meledak. Tinggal tunggu waktu saja.
“Bu Guru, kenapa langit berwarna biru?” Suatu hari Gita bertanya padaku pertanyaan sederhana itu. Aku tersenyum. Bagaimana aku harus menjelaskan fenomena alam pada anak berumur enam tahun?
“Itu karena warna biru adalah warna kesukaan Tuhan, Gita…”
“Oooh…” Gita mengangguk. “Kenapa Tuhan suka warna biru, Bu?”
Aku sadar takkan bisa lepas dari pertanyaan berputarnya ini hingga sejam ke depan. Dan kelak suatu saat, Gita akan tahu sendiri betapa jawabanku ini tidak bisa dipertanggungjawabkan.
cangkir couple milik kita masih kusimpan di dalam laci
tulisannya masih tetap begitu,
Sunshine- Brainwave
isinya kadang bertukar
pemiliknya tidak
kau tidak suka minum kopi
kau lebih suka dibuatkan teh manis atau
segelas susu coklat kental
aku membuatkan cangkirku teh susu
Kita berharap bisa melewatkan hari-hari
berpuluh tahun kemudian dengan adegan yang sama:
kita memegang cangkir masing-masing duduk bersenda gurau
melihat bukit yang hijau dan langit yang membentang
sebagai suami istri yang jenaka
yang punya banyak anak dan cucu yang lucu-lucu
tiap petang hanya bercanda dan bersenda gurau
kemudian melewatkan hidup dengan semua hal sederhana seperti itu.
seperti hanya berbisik tiga kata sebelum tidur,
“Aku sayang padamu…”
saya mengandaikan diriku seperti mentari.
yang terang menghangatkan.
kau langit, tempatku hidup.
menggantungkan diri.
cukup, itu saja.
mestinya kita tak akan pernah berpisah sampai akhir jaman.