Stuck in Love

I am warning you, this post will be a lot about ‘stuck in love’. Things I shouldn’t talk or write about anymore in here.

Rasanya sudah lama tidak merasa deg-degan. Sudah lama sekali tangan tidak terasa dingin tanpa alasan jelas, perut tidak bergejolak seperti ada ribuan kepakan kupu-kupu bersarang di dalamnya. Sudah lama tidak merasa cemburu, marah, ngambek, bahagia, senang, hanya untuk satu orang.

Saya rindu rasanya jatuh cinta lagi, Tuhan.

And I just watched a movie entitled, “Stuck in Love”.

Filmnya menceritakan bagaimana satu cinta yang takkan bisa kau lepaskan dari dirimu. Jenis cinta yang membuat candu, gila dan obsesif tapi dalam arti yang bagus. Cinta itu menunggu. Cinta itu sabar dan memaafkan. Jenis perasaan yang murni, yang tak bisa kita tinggalkan begitu saja dari diri kita sendiri.

Kita takkan bisa hidup tanpa ada rasa peduli. Tanpa ada rasa menyayangi. Kita tak bisa, it’s impossible living life without love and care each other.

Debaran itu tak saya temukan lagi seperti setiap kali saya mengingat Brainwave years ago. Last time we met two days ago was so fun and ordinary. Namun meskipun begitu, ada saja little simple things that makes me wonder why he did that? Hal-hal yang membuatku geer bahwa dia masih suka padaku. Namun kutepis pikiran itu jauh-jauh, tentunya. Saya tahu baginya tak ada lagi sesuatu diantara kami. He is so over me, I know that. Sure hundred percent about it.

Misalnya dia memesan minuman yang sama dengan yang saya pesan. Saya tahu, dia melakukannya karena dia tidak tahu apa yang sebaiknya dia pesan. So, he just order the same drink as I had.

Dan setelah minumannya habis dan saya belum, dia hampir menghabiskan minumku dengan selalu bertanya, “Ini punya siapa? Riana?”. Dia masih saja begitu, seperti dulu.

Dan hal saat saya dan teman-teman bermain kartu Uno, sayalah yang pertama menang. Kemudian dia menyusul. Dan tak ada lagi yang menang setelah dia. Dan hal bahwa hanya saya dan dia yang menang? That makes our friends menyoraki kami berdua.

Silly.
You are 24 years old, Ri! and you still acted like teenager!!

Well, tomorrow is Eid Adha. So, after this indomi goreng+ telur, brush my teeth and sholat Isya, am going to sleep. I am in Rahma’s room now anyway. Borrow her laptop writing this.

Sunshine

Soon

Saya tahu hal ini cepat atau lambat akan terjadi. Tapi sudahlah, tak ada yang bisa disesali. Semua hal terjadi ada alasannya, ada hikmahnya.

Kau butuh petunjuk kan? Ini sinyal yang dikirimkan padamu. Bunyi pesannya, wrong way.

You have to turn left or right to reach your real destination.

Saya bertanya-tanya apakah hidup yang tidak dipertanyakan akan menjadi lebih damai?

Kenapa Riana, orang dekatmu lebih ‘melihat’mu dibanding dirimu sendiri? Kenapa orang lebih bisa menerima dan membacamu? Kenapa kau begitu sulit memahami dirimu sendiri?

Gnothi seauton, Ri. Kenali dirimu. Setelah itu terima, ikhlaskan. Peduli setan apa pendapat orang. Berbahagialah. Ulik dalam apa keinginanmu, apa passion terbesarmu lalu jalani, raih.

Allah selalu ada. Bukankah kau orang yang paling percaya hal itu? Bahwa hanya Allah yang berkuasa. Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Jadi lepaskanlah semua beban resah hatimu. Mintalah padanya. Lalu pasrahkan.

Sunshine
Saya belum pernah menangis sesakit ini sejak entah kapan.

Paper and Pen

Pekerjaan ini adalah hubungan baik antara laptop ( kadang notes Blackberry), blocknotes (buku catatan) dan pulpen. Saya bukan penganut paham merekam sebuah wawancara. Alih-alih, saya hanya mencatat bagian penting yang dikatakan narasumber. Metode itu saya rasa lebih efektif dalam meramu catatan dan hasil wawancara menjadi satu berita penuh, works until now.

Tapi ada satu hal yang penting. Mood.

Dalam pekerjaan ini satu hal ini adalah hal yang paling penting yang harus terus dijaga. Sekali mood rusak, tak ada lagi ceritanya bisa bikin berita bagus. Boro-boro bikin berita, liputan pun kadang tidak.

Sunshine. cuma mau nulis itu

Change

Rasanya saya berubah.

Guru Readingku saat di CESL, Tucson, pernah mengatakan pada kami, di pekan terakhir kursus, saat beberapa dari kami akan pulang kembali ke negara asal, bahwa kami akan berubah.

Mungkin orang-orang dekat kalian tidak akan melihat perubahan itu. Tapi kalian yang tahu bahwa kalian berubah sementara orang lain disana tetap sama.

That’s what she said.

Apa ini hasil dari merantau sendiri jauh dari rumah dan keluarga? Tapi saya jadi lebih menghargai kebersamaan. Saya lebih menyayangi saudara-saudaraku. Saya mendoakan orangtuaku lebih tulus dan sungguh-sungguh dibanding dahulu. Saya sekarang rasanya telah menjadi diriku yang terupgrade, emotionally maupun dalam pemikiran.

Is it a good thing?

Saya tidak yakin juga. Tapi sejauh ini saya rasa iya, perubahan itu ke arah positif dan itu hal yang bagus. Hidup adalah melewati beberapa proses terus menerus dan proses itulah yang menentukan akan menjadi bagaimana hidup kita.

Ada sisi yang masih tetap sama.

Perasaanku belum pernah setenang ini, sedamai ini. Saldo di rekening sudah mencapai ambang kritis tapi hatiku tidak begitu resah. Entah dari mana asal keyakinan bahwa saya Insha Allah akan bertahan hidup. Rejeki sudah ada yang atur; Allah. Hanya Allah yang Maha Berkuasa atas segala sesuatu. Jadi sebagai orang yang beriman, kita hanya harus terus berusaha sisanya serahkan pada-Nya.

Sunshine yang terbangun di tengah malam lalu memutuskan menulis ini dibanding masak mi goreng karena lapar

Coming Home

Sudah sejak Kamis disini, di rumah Makassar. Rasanya tenang dan damai. Of course, tanpa kerjaan dan tugas peliputan tiap hari yang melelahkan itu, saya habiskan waktu hanya buat keluargaku.

Akhirnya Warni dan Fauzi resmi jadi pasangan suami istri. Waktu akad nikah kemarin, saya benar-benar diliputi rasa bahagia dan haru. Saya menangis sampai riasan wajahku luntur dan mataku basah memerah. Alhamdulillah.

Hal yang membahagiakan adalah fakta bahwa Bapak dan Mama juga bahagia. Meskipun agak kelimpungan mengatasi soal biaya, tapi semuanya bisa dilewati. Prosesi pernikahan mulai dari siraman, tamat Qur’an, mappaci, akad nikah, mapparola dan resepsi di gedung, dimudahkan. Alhamdulillah.

Besok malam saya kembali ke Jakarta. I wish I could stay longer. Berada di rumah adalah satu hal yang penting. Pulang sebentar adalah seperti mengisi kembali semangatku untuk hari-hari berat kedepan sebagai seorang reporter.

Saya berharap ada panggilan wawancara. Dari tempat yang lebih baik dari kantor.

Tawakkal pada-Mu ya Allah.

Sunshine