Fever

Dear Mama,

‘Mother, how are you today?’

Ma, bagaimana kabarmu, suami dan anak-anakmu yang lain disana? Anakmu yang satu ini sehat, meskipun kemarin baru terserang pilek demam sehingga kerjaan agak terganggu. Tapi tentu saja, bisa diatasi.

Ma, my job here are getting hard. Belum lagi aku dipindah dari Bekasi ke Jakarta Utara (yap, Tanjung Priok dan sekitarnya). Belum pernah ada carep yang dapat dua wilayah itu dalam 3 bulan pertama penempatan. Bekasi dan Jakut itu dua wilayah ‘tough’. But, I could handle Bekasi so why couldn’t I handle Jakut either? Jakarta is more challenging than I thought before, kuharap semua setimpal dengan apa yang kudapat nanti di masa mendatang. Di minggu pertama ini setiap sampai di rumah, aku langsung roboh di kasur dan bangun-bangun sudah subuh. Ah, my life.

Mama, setiap kali aku pilek demam di kamar sendirian, aku sering sekali teringat kamarku di rumah Makassar. Waktu masih disana pas sakit, di saat orang rumah beraktivitas, aku hanya mendekam di kamar dalam selimut, tidur. Pintu kamar ditutup, aku juga tidak cari makanan. Aku hanya tidur, berpikir secara ajaib nantinya pilek demamku bisa sembuh dengan tidur.

Lalu, saat kau sudah di rumah, kau akan membuka pintu kamarku. Dan melongok ke kasur. Dua puluh menit kemudian, sudah ada sepiring makanan dan teh hangat hangat tersaji di atas meja rias ku. Kau lalu menyuruhku makan dengan kalimat, ‘kenapa tidur terus? Bagaimana mau sembuh kalau tidak makan?’

Ma, sekarang, saat sakit, aku hanya sendirian di dalam kamar. Sehabis minum obat aku langsung tidur sampai esok paginya. Tak ada yang bertanya, tak ada yang menengok di kamar, tak ada yang mengantar makanan, bahkan tak ada yang tahu kalau aku sedang sakit di kamar.

Mama, aku rindu sekali rumah, tapi aku harus belajar jauh dan mandiri dan merindukanmu.

Aku selalu meminta Tuhan menjagamu, Ma. Menjagamu dan Bapak, dan anak-anakmu yang lain di rumah Makassar.

Love,
your daughter

Pelukan

Dear Mama,

I need to be hugged by you. Aku rindu saat pelukanmu belum langka seperti ini. Saat kita dekat, tak ada jarak dan halangan untuk memelukmu sepuasnya, kesempatan yang jarang kugunakan, sekarang aku mengemis hanya untuk satu pelukan itu.
Waktu itu mahal, Ma. Semahal pelukanmu.

Sekarang.

Waktu kuliah, aku sering sekali memeluk Tya atau Isti setiap kali aku gundah. Pelukan mereka sehangat musim panas setelah dingin berkepanjangan. Lelah dan penat hilang, terhambur. Sekarang pun, mereka jauh dan jarang, pelukan sahabat pun terbatas.

Apakah aku rindu padamu, lelaki yang sering kupeluk dari belakang? Apakah kau rindu pelukan seperti aku pun?

Sunshine