Tucson, 2010
Sahara Apartment 3215
Gadis itu duduk di depan laptopnya, memeriksa email yang masuk. Senyumnya terbit saat membaca email dari lelaki itu. Sejak dia berada jutaan kilometer dari rumah, dia intens berkomunikasi via email hanya dengan laki-laki itu. Kemarin, dia bertanya pada lelaki yang dipanggilnya Dise itu, dia ingin dibelikan oleh-oleh apa dari Tucson.
Gadis itu membaca jawaban Dise:
Sesuatu, apapun itu tak masalah, dari Singapore.
Singapore? Bukannya dia ada di Tucson, Arizona?
Gadis itu membalas email itu segera dengan jawaban:
Tentu saja.
Changi Airport, 2010
Gadis itu tiba di Changi Airport untuk pertama kali dalam hidupnya pukul 01.00 pagi. Dia hanya transit beberapa jam sebelum berangkat lagi dengan pesawat lain pukul 07.00, pulang ke negaranya. Pikirnya dia akan mencarikan sesuatu buat Dise disini.
Dia berpikir membeli kaos, seperti biasanya. Tapi, rata-rata toko tutup.
Dia mengelilingi salah satu bandara terbesar di dunia itu, sendirian. Terlalu besar. Dia berkali-kali berganti Skytrain untuk, akhirnya, sampai di sebuah toko suvenir yang masih buka.
Sepuluh menit kemudian, di tangannya sudah ada miniatur merlion silver yang cukup bagus.
Makassar, 2010
Mereka bertemu. Gadis itu memberikan Dise apa yang dibelinya saat di Changi.
”Maaf, cuma bisa kasih ini…”,
Gadis itu tak ingat Dise berucap terimakasih atau tidak. Dia hanya merasa kewajibannya telah selesai.
Gadis itu sudah akan pergi, saat Dise tiba-tiba berkata,
”Saya ingin kesana suatu hari”, sambil memandangi lekat-lekat merlion di tangannya.
”Singapore, maksudmu?”
Dise mengangguk.
Makassar, 2011
Rumah Dise
Gadis itu menemukan dirinya berada di dalam kamar Dise entah persisnya karena apa. Pemilik kamar sedang tidak ada. Saat gadis itu hendak keluar, dia melihat miniatur merlion yang diberikannya setahun lalu pada Dise, berada di atas monitor komputer. Berdebu, seakan-akan sudah ada disana sejak dulu, dan tak pernah dipindahkan.
Gadis itu tahu, Dise suka sekali bekerja di depan komputernya hingga lelap malam bahkan hingga pagi. Fakta penemuan merlion di atas monitor komputer itu, entah dengan alasan apa, membuatnya tersanjung.
Mestinya dia memandangi merlion itu sambil bekerja, setiap hari, bukan? Gadis itu tersenyum.
Jakarta, 2012
Erasmus Huis, Kuningan
”Tiket masuknya gratis kan?” seorang gadis bertanya pada salah satu panitia festival film.
”Iya, silahkan mendaftar dulu”, panitia itu menjawab sambil memberikan pulpen pada gadis itu.
”P-A-R-A” gadis itu menulis di kolom nama.
Kemudian gadis itu mendengar satu suara memanggil, suara yang amat didengarnya.
”Para!”
Gadis itu berbalik. Terkejut luarbiasa. Dia sama sekali tak menyangka,.. tapi kenapa Dise disini?
”Kau pasti tidak membaca jadwal acaranya dengan baik, bukan?”, Dise memperhatikan kebingungan Para dan menyodorkannya jadwal festival film. Para membaca perlahan dan paham saat mendapat nama Dise pada kolom sutradara film. Dia tersenyum. Bangga.
”Akhirnyaa, selamat!” Para berkata pelan. Dia masih belum tahu harus berkata dan bersikap apa. Tapi akhirnya dia bertanya.
”Tentang apa filmnya?”
Dise menjawab, ”I won’t tell, just watch by yourself. Yuk, filmnya sebentar lagi mulai”.
Saat Para menonton film Dise, dia berpikir ini tak mungkin soal miniatur merlion yang diberikannya dua tahun lalu dan sempat dilihatnya berdebu di kamarnya. Tak mungkin benda itu yang menjadi motivasi atas usaha kerja keras Dise hingga dia sampai ke titik ini. Kenapa cara kerja hidup seperti itu, Para tidak bisa paham.
”Kau ingat benda yang kuminta sebagai motivasi?”, Dise bertanya saat film berakhir.
Para mengangguk.
Obrolan mereka pun berlanjut, mengalir, seakan-akan memang sudah diatur sedemikian rupa seperti itu.
Flyer film berjudul ‘Merlion from Her’ terbang tersapu angin. Di bawah judul film, tertulis jelas tulisan ‘A Film by Dise’.
Jatiwaringin, akhir 2012