I dislike classroom.
Bukan ruangnya yang saya tak suka, tapi atmosfir ruangan itu saat proses belajar mengajar terjadi.
Sejak kecil bersekolah selama dua belas tahun di ruang-ruang kelas, saya selalu merasa terintimidasi. Saya sering sekali merasa inferior oleh guru-guru. Juga pada teman-teman yang lebih cerdas dan lebih berani unjuk tangan di depan kelas.
Saya ingat pelajaran yang paling membuatku eager to learn adalah Bahasa Inggris. Awalnya saya bahkan tak tahu apa bahasa inggris lemari. Temanku, yang orang tuanya cukup kaya untuk memberi kursus padanya, tahu. Dia dengan percaya dirinya menjawab ‘cupboard’ sambil pamer pada teman yang lain.
Setelah mendesak Mama, beliau lalu meminta saudaranya yang saat itu masih kuliah untuk mengajarku Bahasa Inggris. Selanjutnya, saya belajar dengan amat cepat. Bahkan saya langsung tahu lebih banyak vocabulary dibanding teman-temanku yang lain.
Tapi, saya tidak percaya diri. Saya, entah kenapa, sangat takut unjuk tangan dan menjawab lantang. Hal yang berikutnya terjadi adalah, teman sebangku ku lah yang menjadi bintang. Setiap kali guru bertanya arti kata dalam bahasa inggris, aku menjawab pelan dan teman sebangku ku lah yang unjuk tangan dan menjawab pertanyaan guru. Selalu begitu.
Tak kuduga, hal itu terjadi sampai sekarang. Padahal umurku sudah hampir 25. Aku bahkan lebih berani diminta mengurus banjir Pluit sendirian dibandingkan speak up my mind.
Seperti di kelas menulis tadi. Suasana kelas membuatku tidak nyaman, membuatku ingat bagaimana saya menghabiskan masa pendidikanku dalam ketegangan dan ketakutan berbuat salah. Aku pasti mengidap penyakit gila nomor 99.
Padahal banyak sekali yang ingin saya tanya, saya ingin mengutarakan kebingunganku.
Dan saya baru tahu penyakit gila ini saat memikirkannya barusan.
Saya lebih nyaman berbicara di luar ruang kelas dengan teman-teman yang saya kenal, bukan dengan sekumpulan orang yang asing. Saya lebih bebas ngobrol dan mengutarakan semuanya dengan orang melalui percakapan.
Sunshine