Observation Room

Jakarta, 19 Maret 2020

Dokter Juni melepas sarung tangan dan berkata pada suamiku dengan nada yang nyaris datar, “operasi besok ya Pak”.

Saya tau Lam panik dan bingung. Kami berdua tidak ada pikiran sama sekali tidak ada persiapan sama sekali mendengar kalimat itu dari dokter obgyn.

“Bayinya bukan cuma sungsang tapi ketubannya juga sudah sedikit. Kita tes detak jantung bayi dulu ya, kalau bagus operasinya bisa besok”, dokter melanjutkan.

Dan disinilah saya, Ruang Observasi. Lam pulang mengambil barang-barang kebutuhan bayi dan kebutuhanku. Mama Bapak dan mertua di Makassar sudah dikabari dan mereka insya Allah akan tiba nanti malam.

Sample darahku diambil, saya diinfus dan tadi juga sudah dites jantung.

Besok insya Allah. 20 Maret 2020.

Tadi sebelum Lam pergi, kami berpelukan dan saya menciumnya sambil minta maaf. Dia menangis terharu. Ini anak pertama kami.

Tiada daya dan upaya selain dari Allah SWT.

Bismillah.

Ri

Bersama Berdua

Nak,

Minggu pagi ini kita ke GBK untuk sekedar jalan kaki berdua. Papa mu juga ikut karena mau mencoba menerbangkan drone nya yang baru saja selesai diperbaiki.

Jalan kaki kita sebentar saja, satu kali mengitari stadion bagian luar.

Sepertinya saya kena wasir. Ada tonjolan kecil yang keluar dan rasanya tidak nyaman jika sedang berjalan. Saya berusaha memasukkannya lagi. Saat saya cerita ke Nenek di Makassar, Nenek sarankan untuk minum prebiotik dan duduk di atas batu yang keras.

Kau menendang sisi perut kananku.

Saya sudah terapi sujud dan menungging setiap malam dan setelah solat subuh, Nak, diawasi Papamu. Semoga USG selanjutnya kepala kamu sudah bisa ke panggulku di bawah.

Sekarang saya duduk di bawah pohon sambil menulis ini. Papamu ada di seberang masih mengutak-atik drone nya yang kelihatannya belum terbang. Setelah ini, setelah menulis ini dan minum dan istirahat sejenak, saya akan menyusulnya. Jalan kakinya cukup sekian ya. Mari kita cari sarapan. Mungkin kamu sudah lapar jadi menggeliat tidak karuan di dalam perutku.

Anakku, sayangku, semoga Allah SWT senantiasa melindungimu.

Ri

34weekspregnant

Sungsang

Nak,

Kemarin Papa cuti sehari untuk menemaniku kontrol USG memasuki bulan ke-8 kehamilan. Paginya kami menuju RSUD Pasar Minggu untuk kontrol di dr. Netty. Sampai disana ternyata dokternya sudah tidak bekerja disana lagi.

Dan karena di rumah sakit itu tidak bisa USG 4D, kami pun akhirnya mencari klinik lain. Saya sebenarnya gelisah juga memikirkan murid-muridku di sekolah karena saya cuma ijin datang telat.

Setelah menelusuri laman pencarian, kami sepakat untuk ke Klinik Rebo yang kebetulan searah dengan sekolahku. Waktu itu sudah hampir pukul 10pagi.

Sampai disana, oleh satpam, kita diberitahu ternyata kalau mau USG harus kontak janjian dulu dengan dokternya. Dia menyarankan kami untuk ke klinik Budhi Pratama di Gedong, klinik yang tidak jauh dari situ.

Sampai di Budhi Pratama, saya tanya apa bisa USG 4D? Biayanya berapa? Dengan dokter siapa? Perawatnya memberi info bahwa dr. Ulul Albab, SpOG yang praktik disitu tapi mulai pukul 5 sore. Setelah daftar pasien umum, saya pun ke sekolah dulu nanti pas pulang baru ke klinik itu lagi. Sedangkan suami pulang dulu ke rumah sambil menunggu saya pulang.

Pukul 5.15 sore, saya sudah di klinik. Papamu masih dalam perjalanan. Perawat menginformasikan kalau dokternya agak telat dan akan mulai praktik selepas magrib.

Dengan lelahnya saya duduk di sofa sambil menunggu Papamu datang. Dia muncul tak lama setelah saya duduk. Dia menawarkan biar kita makan malam dulu di warung Makassar di dekat situ.

Selesai makan dan solat magrib, kami kembali ke klinik dan duduk dipanggil giliran kami.

Saat masuk ruangan pemeriksaan, dokter langsung meminta saya berbaring untuk disiapkan USG. Baru saja dia melihat layar yang menunjukkan dirimu, Nak, dia langsung bilang, “Sungsang ini”,

Hanya saja, tidak seperti yang saya harapkan, dokternya tidak menjelaskan secara detail. Posisimu bagaimanakah, bagian apa yang dia ukur di layar, bagian tubuhmu baik-baik sajakah. Saya tidak begitu nyaman. Dari dokter itu, kami jadi tau kalau beratmu sudah 2,4 kilogram dan sehat sehat saja di dalam sana, alhamdulillah.

Jadi kami gagal melihatmu dalam 4D karena posisi sungsang.

Dokter menyarankan saya untuk terapi sujud atau banyak nungging, biar posisimu bisa berubah.

Semoga Allah SWT senantiasa menjagamu Nak. Sampai jumpa segera! Insya Allah!

Ri

33 weeks

New Routine

Okay, here it is, my new daily routine.

I started teaching at this school in Bambu Apus region in the beginning of July 2019. It’s one of an Islamic fancy schools in East Jakarta. Work starts at 8am. It takes about 40minutes by public transport from home commuting to school. However, since the school has shuttle buses that departs from Warbun (only 10minutes ride from my place), so I decided to take shuttle instead in a daily basis. I can save much!

Work ends at 3.30pm. I take shuttle to go back to the meeting point in Warbun and take TransJak or ojek online to reach home. I usually arrive at 4.30pm. I have early dinner and usually sleep after had my meals.

And the next day begins again.

Ri

Lam

That day, I went to Somba Opu Street with Lam’s family. We wanted to buy some jewelries for me, as my Mahr (dower). He wasn’t with us because he worked in Jakarta. But he kept us company by standing by in phone, just in case I needed him.
Me and his Mom (Bunda) got a wedding ring. It’s a simple ring, plain, made of gold, without anything on it. I liked it instantly. So I said “this is it, this is what I want”. The shopkeeper asked me whether I want to engrave my husband’s name at the backside of the ring or not.

“That would be lovely, thanks”, I said.

The shopkeeper asked me to write it down. So I wrote “Ilham”. Less than a minute, I got a ring with Ilham’s name on it. I couldn’t believe I will wear it once I’m officially married him. Like the rest of my life.

After got home, at night, I called him and told what happened today in detail. I told him I have his name on my ring.

“A complete name?” he asked.
“No, just Ilham”,
“Hmmm..”
“Why?”
“I’d prefer you write Lam to Ilham but that’s okay”,

Ri

Demam

Saya baru pulang dari trip Ijen-Bromo beberapa hari yang lalu. Sekarang, saya terbaring lemah di kasur, merasakan panas tubuhku semakin tinggi. Saya kena demam.

Seumur hidup, sebelum Ijen dan Bromo, saya hanya pernah hiking di satu tempat, yaitu di Grand Canyon, US.

Semalam, saya mengirim email ke mantan pacar dan saya berakhir dengan membaca percakapan kami di email yang kami kirim di masa lalu yang jauh.

Salah satunya adalah saat saya bercerita padanya tentang pendakian ke Grand Canyon itu.

Saya menulis bahwa disana sangat indah, dan betapa susahnya bagi saya untuk mendaki dan menuruninya. Namun saya tetap keukeuh melakukannya.

Sepulang dari Grand Canyon, saya meringkuk di kamar hotel dan tidak bisa menyaksikan sunset karena badanku demam.

Di email dia mengatakan bahwa hanya kita yang tau sampai mana batas kemampuan fisik kita. Dan betapa saya sering sekali melewatinya.

Saya sudah lupa bahwa perjalanan saya selama dua bulan di Amerika saat itu, terekam pula di email-email yang kami kirimkan. Dan betapa saya dan dia sebenarnya tak pernah benar-benar kehilangan kontak meskipun kami tidak lagi bersama-sama.

Ri

Perasaan

Siapa yang mengatur perasaan kita sesungguhnya? Apakah kita yang memiliki hati kita? Ataukah Tuhan yang mengendalikannya sebab Dia Maha Memiliki dan Maha Kaya sedangkan kita hanya seperti debu.

Memutuskan menikah adalah perkara yang paling besar yang kuambil selama 29 tahun umurku. Dan saat ini, laki-laki yang mengajakku untuk menghabiskan sisa hidup bersamanya adalah laki-laki yang paling tidak kuduga kedatangannya.

Kupikir takkan ada perasaan yang tumbuh untuknya. Kupikir akan canggung segala apa dengannya.

Tapi disinilah saya, menemukan diriku menulis ini sambil merasakan ada kupu-kupu dalam perutku setelah bertelpon dengannya sekian jam.

Saya tak punya rencana akan seperti ini. Saya hanya mengikuti arusnya. Jika memang jodoh, insya Allah dimudahkan.

Ri

Hidup Mengikuti Arus

Saya sering merasa terkesima dengan pencapaian-pencapaian teman-temanku. Apalagi kalau melihat sosial media.

Ada yang sudah selesai S2 di luar negeri dengan sederet prestasi.
Ada yang sudah menikah dan punya anak tiga.
Ada yang sudah keliling dunia.

Trus aku mah apa atuh?

Mimpi pun saya tak punya.

Dulu sekali, saya punya satu keinginan. Saya mau menikah dengan laki-laki yang bersamaku, yang setengah mati kucintai. Membangun keluarga bersamanya.
But he left me.

Jadi mimpiku pun hilang dengan kepergiannya.

Kalau kurunut ke belakang, mimpi itu juga ada karena dia hadir di dalam hidupku. Jadi kalau dia tidak ada, saya tidak berkeinginan seperti itu juga.

Waktu masih mahasiswa, saya tidak punya ambisi ke USA. Tapi Allah SWT kasih rejeki. Tiba-tiba dosen kasih tau ada IELSP, tiba-tiba ada uang buat tes TOEFL (walaupun pinjam uang teman), kebetulan skor cukup buat daftar beasiswa, dan kebetulan lulus.

Waktu kerja jadi jurnalis di Jakarta, mana pernah saya mimpi ke China jadi perwakilan Indonesia? Tapi Allah SWT kasih rejeki. Tiba-tiba sms teman masuk ke hape "Ri, mau ke China gak?" Dan kebetulan sekali, waktu itu saya jadi wartawan mingguan, jadi bisa stok berita untuk seminggu trus berangkat. Kalau waktu itu ngepos di Warta Kota pasti kantor gak ijinkan.

Jadi sebenarnya, saya itu tidak pernah berencana apa-apa.

Jadi guru sekarang pun, saya tidak pernah mau, atau mimpi, atau ambisi dari kecil. Tidak pernah.
Tapi Allah SWT kasih rejekinya dari mengajar. Jadi saya manut saja.

Saya ternyata hidup mengikuti arus. Apapun yang dikasih, saya terima, saya berusaha jalani dengan ikhlas dan bahagia.

Kalau misalkan besok, dikasih rejeki liburan ke Bali, itupun bukan saya mau atau saya rencanakan. Tiba-tiba ada saja kesempatan dan rejeki. Alhamdulillah, dikasih waktu dan uangnya.

Trus kalau misalkan lagi besok dikasih kesempatan liat keajaiban Blue Fire di Ijen, itu tidak pernah saya mimpi, angan-angan kesana. Alhamdulillah kalau dikasih rejeki sama Allah.

Apakah hidup dengan rencana itu lebih baik dibandingkan mengikuti arus? Apakah hidup dengan rencana-rencana itu akan lebih bahagia karena kita punya tujuan?

Entahlah.

Ri

Kejanggalan-Kejanggalan

Kemarin, driver GoJek ku berhenti di sebuah warung makan untuk berteduh dari hujan. Dia tidak membawa jas hujan dan apapun untuk melindungi handphonenya.
Saya menolak berhenti karena sudah hampir magrib, badan capek sekali dan tinggal beberapa ratus meter lagi sudah sampai rumah.
Tapi drivernya tetap tidak mau melanjutkan perjalanan dan minta agar saya mengerti kondisinya.
Saya marah dan membayarnya. Mungkin karena sudah capek juga, mood nda bagus. Pas drivernya tawarkan saya topup GoPay, saya jawab, "tidak mau, karena saya tidak diturunkan di rumah". Drivernya terkejut mendengar jawabanku dan akhirnya mulai marah juga. Saya bilang tidak usah marah, Pak. Dan saya langsung pergi dari hadapannya, mencari atap lain untuk berteduh.
Saya menelpon orang rumah minta dijemput. Bapak suruh saya menunggu.
Lima menit kemudian, Bapak belum muncul. Hujan sudah reda. Driver GoJek itu menghampiri saya dan menawarkan kembali jasanya untuk membawa saya ke rumah. Saya, tanpa menoleh, menggelengkan kepala dan memintanya pergi.
Akhirnya Bapak datang.
Sampai di rumah, saat saya mau memberi penilaian performance pada driver Gojek itu dengan bintang yang tidak penuh 5, sesuatu yang janggal terjadi: kotak dialog penilaian tidak muncul-muncul.
Setelah menunggu beberapa saat dan tak terjadi apapun, saya menyerah dan berpikir mungkin drivernya melakukan sesuatu pada orderan saya supaya saya tidak bisa menilai dia. Apapun itu, untunglah. Saya berhasil tidak berbuat jahat. Jika saja kotak nilai muncul, saya pasti kasih dia bintang 1. Dan tentu itu akan berdampak sama performance dan tentu saja gaji hariannya.

Hari ini, saat saya memeriksa mutasi rekeningku, kejanggalan terjadi. Data penarikan yang tertulis tidak sesuai dengan jumlah uang yang adek ambil semalam.
Saat saya menanyainya, dia insist dia benar dan data salah. Tapi pas saya tanya ke teman yang bekerja di bank, data mutasi tidak akan pernah salah.
Saya tidak tau mau percaya siapa. Satunya manusia, satunya komputer.
Ini bukan masalah jumlah uang yang hilang, hanya saja saya tidak tau saja kenapa kejanggalan ini terjadi.

Ri

Masa Depan

Tadi sore, salah satu teman di Facebook bernama JH membagikan foto-foto Prof I dan istrinya yang sedang berlibur di desa kecil di Jepang. Dia menulis beberapa baris catatan tentang foto itu. Betapa pasangan itu masih saling menyayangi dan menjaga satu sama lain padahal usia pernikahannya sudah lama sekali.

Kemudian entah, saya mengangankan bisa seperti itu kelak berdua denganmu. Menikmati hari tua dengan berlibur di suatu tempat dan mengabadikannya dalam beberapa potret wajah kita saling tersenyum dengan pemandangan yang indah di latar belakangnya.

Temanku itu mengutip kata-kata istri Prof itu dan menceritakan betapa sabarnya ia menemani suaminya sejak awal hingga sekarang.

Dan betapa di belakang laki-laki yang berhasil, ada seorang perempuan yang juga tak kalah hebatnya. Perempuan yang sabar, yang kuat dengan cinta yang besar yang tampaknya tak pernah habis.

Sayang,
saya bermimpi kelak kita bisa seperti itu. Atau bahkan lebih dari itu. Saya tahu kita bahkan belum memulainya. Tapi membayangkan kita akan hidup bersama-sama di satu titik dalam hidupku, membuat hatiku bahagia hingga jauh sekali menembus awan.

Saya bukan seseorang yang punya ambisi dan mimpi ingin menjadi seseorang yang kaya atau terkenal atau sebutlah semuanya. Sejak bertemu denganmu, saya hanya berharap bisa menjadi istri dan ibu dari anak-anakmu lalu kita hidup bahagia sampai dunia berakhir. Tapi kusadari kemudian bahwa itu bukan cita-cita yang kecil. Bagiku, itu adalah mimpi yang besar.

Sekarang dan seterusnya, mari tetap saling memberi kekuatan. Sebab mencintai butuh kesabaran dan kesabaran butuh kekuatan.

Ri