Demi Silaturahmi

My furthest journey alone. Seemingly.

Saya melintasi kota Jakarta dari Bekasi menuju Tangerang (persisnya di daerah Bintaro) mengunjungi atau lebih tepatnya menjenguk istri kakak sepupu saya yang baru saja melahirkan anak pertamanya sore tadi. Awalnya, kupikir saat dia mengatakan tinggal naik kereta dari stasiun Bekasi ke stasiun Jurangmangu, itu pasti tak seberapa jauh. Ternyata, diluar dugaan. Itu adalah perjalanan terjauh saya sendirian dengan kereta. Dua jam lebih dengan kereta dengan berganti rute tiga kali.

Dari Stasiun Bekasi, saya membeli tiket Commuter Line menuju Serpong dengan harga Rp16.500,-. Sesuai petunjuk, saya harus ke Stasiun Manggarai dulu, lalu ganti ke arah Tanah Abang, lalu langsung lanjut ke Jurangmangu.
Tapi menulis tak semudah mengalaminya. Perjalananya tentu dikali dua, sebab saya harus pulang balik saat itu juga.

Kalau masih ada lagi yang bertanya kenapa saya mau pergi, benar-benar saya tabok.
Karena apalagi kalau bukan silaturahmi?

Maksudku, mereka salah satu keluarga yang termasuk dekat. Dan saya suka mengunjungi seseorang yang bisa mengingatkanku dengan kampung halamanku, Makassar. Mereka membuatku merasa seperti itu, makanya saya rela menembus jarak sejauh tadi, yang mungkin takkan dilakukan orang lain di zaman modern seperti ini apalagi kalau mereka memakai alasan sibuk bekerja sehingga tidak sempat datang.

Akhirnya, saya pulang dengan kereta lagi dari Stasiun Jurungmangu. Namun pas sampai di Stasiun Manggarai, KRL ke Bekasi baru akan datang pukul setengah sebelas malam. Saya tentu tidak bisa menunggu sejam hanya untuk itu. Saya segera keluar dari stasiun, dengan bajaj, saya mencapai shelter TransJakarta Manggarai menuju shelter Matraman dan sambung ke arah PGC turun di Bidara Cina, ambil angkot 26 sampai Curug nyambung ojek masuk ke (akhirnya) RUMAH!

I am so sleepy but eventually I can barely sleeping so I am writing this silly post. Well, blogging is some kind of therapy for me. So here I am, with my warm blanket and pillow. Just so you know, I don’t want to be late tomorrow so I have to sleep now!

Sunshine

Panic Attacks

I feel like not good enough, I feel like I’m the most stupid, immature person alive. My job, I love my job. Being a journalist was a dream came true. Alhamdulillah, God gave me such a golden opportunity but now… I feel like I lost my motivation. I’m drowning in despair. I lost the fun. Now, I have to collect the remains of my interest and pull my motivation back to my body.

Mom, I miss my mother. I miss my father. I miss my sisters. I envy all my friends who lived with their family together in one roof. I have to lived away with my family and this is my first time in my life been away from them. And I tell you, that was really hard. Sometimes, I cried in the middle of the night only because of looking my parents photos.

I lost the motivation and I HAVE TO GET IT BACK. No matter what, I have to work hard. I have to, no compromise. Because that’s what I’m doing here! I’m working, that’s why I’ve been away from my family, so I have to work hard!

I hope, I hope, everything always be fine, always be alright.

Sunshine

Merlion

Tucson, 2010
Sahara Apartment 3215

Gadis itu duduk di depan laptopnya, memeriksa email yang masuk. Senyumnya terbit saat membaca email dari lelaki itu. Sejak dia berada jutaan kilometer dari rumah, dia intens berkomunikasi via email hanya dengan laki-laki itu. Kemarin, dia bertanya pada lelaki yang dipanggilnya Dise itu, dia ingin dibelikan oleh-oleh apa dari Tucson.

Gadis itu membaca jawaban Dise:
Sesuatu, apapun itu tak masalah, dari Singapore.

Singapore? Bukannya dia ada di Tucson, Arizona?

Gadis itu membalas email itu segera dengan jawaban:
Tentu saja.


Changi Airport, 2010

Gadis itu tiba di Changi Airport untuk pertama kali dalam hidupnya pukul 01.00 pagi. Dia hanya transit beberapa jam sebelum berangkat lagi dengan pesawat lain pukul 07.00, pulang ke negaranya. Pikirnya dia akan mencarikan sesuatu buat Dise disini.

Dia berpikir membeli kaos, seperti biasanya. Tapi, rata-rata toko tutup.

Dia mengelilingi salah satu bandara terbesar di dunia itu, sendirian. Terlalu besar. Dia berkali-kali berganti Skytrain untuk, akhirnya, sampai di sebuah toko suvenir yang masih buka.
Sepuluh menit kemudian, di tangannya sudah ada miniatur merlion silver yang cukup bagus.

Makassar, 2010

Mereka bertemu. Gadis itu memberikan Dise apa yang dibelinya saat di Changi.
”Maaf, cuma bisa kasih ini…”,
Gadis itu tak ingat Dise berucap terimakasih atau tidak. Dia hanya merasa kewajibannya telah selesai.
Gadis itu sudah akan pergi, saat Dise tiba-tiba berkata,
”Saya ingin kesana suatu hari”, sambil memandangi lekat-lekat merlion di tangannya.
”Singapore, maksudmu?”
Dise mengangguk.

Makassar, 2011
Rumah Dise

Gadis itu menemukan dirinya berada di dalam kamar Dise entah persisnya karena apa. Pemilik kamar sedang tidak ada. Saat gadis itu hendak keluar, dia melihat miniatur merlion yang diberikannya setahun lalu pada Dise, berada di atas monitor komputer. Berdebu, seakan-akan sudah ada disana sejak dulu, dan tak pernah dipindahkan.

Gadis itu tahu, Dise suka sekali bekerja di depan komputernya hingga lelap malam bahkan hingga pagi. Fakta penemuan merlion di atas monitor komputer itu, entah dengan alasan apa, membuatnya tersanjung.

Mestinya dia memandangi merlion itu sambil bekerja, setiap hari, bukan? Gadis itu tersenyum.

Jakarta, 2012
Erasmus Huis, Kuningan

”Tiket masuknya gratis kan?” seorang gadis bertanya pada salah satu panitia festival film.
”Iya, silahkan mendaftar dulu”, panitia itu menjawab sambil memberikan pulpen pada gadis itu.
”P-A-R-A” gadis itu menulis di kolom nama.

Kemudian gadis itu mendengar satu suara memanggil, suara yang amat didengarnya.
”Para!”

Gadis itu berbalik. Terkejut luarbiasa. Dia sama sekali tak menyangka,.. tapi kenapa Dise disini?

”Kau pasti tidak membaca jadwal acaranya dengan baik, bukan?”, Dise memperhatikan kebingungan Para dan menyodorkannya jadwal festival film. Para membaca perlahan dan paham saat mendapat nama Dise pada kolom sutradara film. Dia tersenyum. Bangga.

”Akhirnyaa, selamat!” Para berkata pelan. Dia masih belum tahu harus berkata dan bersikap apa. Tapi akhirnya dia bertanya.
”Tentang apa filmnya?”

Dise menjawab, ”I won’t tell, just watch by yourself. Yuk, filmnya sebentar lagi mulai”.

Saat Para menonton film Dise, dia berpikir ini tak mungkin soal miniatur merlion yang diberikannya dua tahun lalu dan sempat dilihatnya berdebu di kamarnya. Tak mungkin benda itu yang menjadi motivasi atas usaha kerja keras Dise hingga dia sampai ke titik ini. Kenapa cara kerja hidup seperti itu, Para tidak bisa paham.

”Kau ingat benda yang kuminta sebagai motivasi?”, Dise bertanya saat film berakhir.
Para mengangguk.

Obrolan mereka pun berlanjut, mengalir, seakan-akan memang sudah diatur sedemikian rupa seperti itu.

Flyer film berjudul ‘Merlion from Her’ terbang tersapu angin. Di bawah judul film, tertulis jelas tulisan ‘A Film by Dise’.

Jatiwaringin, akhir 2012

Atambua 39 Derajat (2012)

Atambua 39 Derajat.

Ilham sudah mau berangkat lagi ke Singapore hari Kamis, jadi saya sama Rahma mengiyakan ajakan nontonnya hari Rabu kemarin. Kita bertiga nonton di Metropole, kawasan Cikini, Jakarta Pusat.

Film ini disutradarai oleh Riri Riza, produksi Miles Film. Setting cerita di Atambua, kota perbatasan antara Timor Leste dengan Indonesia. Tidak ada kesan sedang menonton film Indonesia. Saya seperti menonton film-film asing lain, yang agak absurd, yang dihidupkan dengan gambar-gambar memukau dari pemilihan shoot yang apik. Bahasanya bukan Indonesia, tapi memakai bahasa daerah Atambua. Jadi, resmilah, saya seperti menonton film asing.

Joau hidup dengan ayahnya, Ronaldo. Baginya tumbuh besar adalah dengan mendengarkan suara ibunya melalui kaset rekaman yang selalu diputarnya melalui tape recorder tiap pagi. Ayahnya pemabuk, kerja sampingannya menjadi sopir bus, yang kemudian dipecat karena banyak penumpang yang komplain. Hidup Joau tidak berwarna dan datar saja, hingga dia bertemu dengan seorang perempuan yang membuat hidupnya tiba-tiba berubah. Dia jatuh cinta.

Mungkin memang sutradara film berniat membuat film ini menjadi film semi dokumenter, sebab dilihat dari colouringnya seperti itu. Tapi, saya tidak terganggu dengan itu. Saya malah semakin impress- terkesan. Ada berapa film fiksi yang sekaligus semi dokumenter, yang mengupas budaya Timor, seperti yang dilakukan film ini?

Well, Ilham pernah buat satu tentang budaya Kajang di Sulawesi Selatan, tapi itu kan tetap saja, dokumenter.

Tapi Atambua 39 Derajat, berbeda.

Saya malah senang menontonnya. Filmnya jujur, gambarnya indah, atmosfirnya lengkap, cuma sayang sekali, tidak didukung dengan jajaran akting pemain yang baik.

Film statementnya juga menurut saya, luarbiasa.

Saya jadi heran apa yang dicari para muda mudi yang mengantri Breaking Dawn Part 2 alih-alih menonton film Indonesia layaknya Atambua 39 Derajat atau Jakarta Hati.

Well, have a nice watching!

Sunshine

Jawaban Sederhana

Dia selalu menjawab dengan kalimat sederhana, hanya satu dua kalimat. Entah kenapa. Saya sering mencoba memancing komentar yang lebih panjang darinya, namun itu sangat sulit dan butuh waktu obrolan yang lama. Setiap kali kami bertemu,…ah, saya bahkan tak mau menuliskannya.

Sunshine