Hidup Mengikuti Arus

Saya sering merasa terkesima dengan pencapaian-pencapaian teman-temanku. Apalagi kalau melihat sosial media.

Ada yang sudah selesai S2 di luar negeri dengan sederet prestasi.
Ada yang sudah menikah dan punya anak tiga.
Ada yang sudah keliling dunia.

Trus aku mah apa atuh?

Mimpi pun saya tak punya.

Dulu sekali, saya punya satu keinginan. Saya mau menikah dengan laki-laki yang bersamaku, yang setengah mati kucintai. Membangun keluarga bersamanya.
But he left me.

Jadi mimpiku pun hilang dengan kepergiannya.

Kalau kurunut ke belakang, mimpi itu juga ada karena dia hadir di dalam hidupku. Jadi kalau dia tidak ada, saya tidak berkeinginan seperti itu juga.

Waktu masih mahasiswa, saya tidak punya ambisi ke USA. Tapi Allah SWT kasih rejeki. Tiba-tiba dosen kasih tau ada IELSP, tiba-tiba ada uang buat tes TOEFL (walaupun pinjam uang teman), kebetulan skor cukup buat daftar beasiswa, dan kebetulan lulus.

Waktu kerja jadi jurnalis di Jakarta, mana pernah saya mimpi ke China jadi perwakilan Indonesia? Tapi Allah SWT kasih rejeki. Tiba-tiba sms teman masuk ke hape "Ri, mau ke China gak?" Dan kebetulan sekali, waktu itu saya jadi wartawan mingguan, jadi bisa stok berita untuk seminggu trus berangkat. Kalau waktu itu ngepos di Warta Kota pasti kantor gak ijinkan.

Jadi sebenarnya, saya itu tidak pernah berencana apa-apa.

Jadi guru sekarang pun, saya tidak pernah mau, atau mimpi, atau ambisi dari kecil. Tidak pernah.
Tapi Allah SWT kasih rejekinya dari mengajar. Jadi saya manut saja.

Saya ternyata hidup mengikuti arus. Apapun yang dikasih, saya terima, saya berusaha jalani dengan ikhlas dan bahagia.

Kalau misalkan besok, dikasih rejeki liburan ke Bali, itupun bukan saya mau atau saya rencanakan. Tiba-tiba ada saja kesempatan dan rejeki. Alhamdulillah, dikasih waktu dan uangnya.

Trus kalau misalkan lagi besok dikasih kesempatan liat keajaiban Blue Fire di Ijen, itu tidak pernah saya mimpi, angan-angan kesana. Alhamdulillah kalau dikasih rejeki sama Allah.

Apakah hidup dengan rencana itu lebih baik dibandingkan mengikuti arus? Apakah hidup dengan rencana-rencana itu akan lebih bahagia karena kita punya tujuan?

Entahlah.

Ri

Panas Tubuh

Hari ini entah kenapa, saya tidak punya nafsu untuk makan apapun. Kalian tau rasanya? Itu seperti sesuatu membuatmu tidak merasa lapar, sesuatu membuatmu merasa bahwa kau tidak butuh makan. Haha penjelasan yang hebat, bukan?

Alhasil, bekal makan yang dibuatkan Mama, bersisa banyak sekali. Saya menyesal. Perutku tidak mampu menampung makanan. Bahkan mulutku tidak ingin mengunyah apapun lagi.

Di kamar, sambil tidak melakukan apapun, saya sadar saya berkeringat banyak sekali. Tiba-tiba saya ingin saja menulis. Saya bisa menyalakan kipas untuk menyejukkan tubuhku yang panas, tapi saya enggan. Seperti enggannya saya makan.

Belakangan ini, saya mulai pasif di sosial media. Saya sering berpikir untuk menutup semuanya, atau tak mengapdet lagi apapun tentang hidupku. Saya juga sudah sangat kurang bercerita apapun ke teman siapapun. Saya cenderung lebih memilih sendiri. Sedih sendiri. Kadang saya hanya membaginya dengan Tuhan saat bertemu. Terapi yang baik, kau tahu? Berbicara tanpa henti tentang semuanya, menangis dan tertawa, dan tak ada yang membalas dan menjawab apapun. Tapi Tuhan Maha Mendengar. Saya yakin. Dia tau semuanya. Kucurahkan semua pada-Nya.

Perkara dengan sosial media dan teman kadangkala membuatku merasa muak. Tak ada yang begitu penting menurutku untuk dibagikan dengan orang-orang yang bahkan tak pernah menanyakan kabarmu. Membunyikan teleponmu. Hanya karena semuanya terlihat dan terpapar jelas di Instagram, Facebook, dan yang lain, tak ada lagi yang penasaran dengan jawaban "are you feeling okay?" "how are you?".

Yang penting hanyalah, seberapa banyak kau bisa mengepos tentang hidupmu yang bahagia. Membuat orang lain merasa ingin bernasib sama bahagianya denganmu. Berkunjung ke tempat yang seindah itu, memiliki kekasih yang sesempurna itu, memiliki pakaian dan sepatu yang bermerk seperti itu.

Saya, hanya tetap menulis, mengepos blog yang saya tau tak ada yang membacanya. Menulis panjang, pendek, apapun yang kusuka.

Tahun ini, beberapa hari menjelang umurku ke-29, saya hanya ingin menikah dengan orang yang saya cinta. Dan saya tau, tak ada yang mampu membantuku kecuali nasib baik dan izin dari Tuhan.

Ri

Membakar Mimpi

rasa takut membakar mimpi
matamu redup
tak lagi kulihat kerlip cahaya disana
yang biasanya memantulkan bayangan wajahku yang bahagia
sehabis menangkap lengkung senyum di bibirmu

apa yang kau khawatirkan, sayang?

katamu dengan datar,
‘aku ingin pergi’
sepersekian detik aku menunggu
kau tak jua melanjutkannya dengan penjelasan

‘kini apa yang salah?’

tak kutanyakan pula perihal penyebabnya
aku hanya menuntunmu
membantu mengepak pakaian, buku-buku,
dan setiap keping kenangan yang ada padanya
aku menangis tapi kesedihanku raup oleh ketakutan

mulutku tertutup
pikiranku liar
hatiku perih dan pedih
mataku kering

derik pintu
membahana
menutup
cahaya mataku
sirna
aku berdiri menyaksikan langkahmu tak henti di ujung mimpiku

kusadari kaulah ketakutanku
kau pula yang membakar mimpiku
lalu pergi begitu saja
seperti asap
yang tak kenal api mana dia berasal

Morning Thought

Jiwa yang tenang hanya bisa diraih kalau kita yakin. Kita yakin karena itulah kita jadi tenang, tidak tergesa-gesa atau terburu-buru. Tapi tak berarti diam saja tak melakukan apa-apa. 

Keyakinan bisa kita rasa jika kita sudah berusaha dan berdoa pada Tuhan. Saat usaha telah maksimal, doa telah sepenuh hati, yakinlah insya Allah semuanya akan dijabah pada waktu yang tepat. 
Jangan menginterupsi Tuhan dalam mengabulkan keinginanmu. Dia Maha Tahu segala sesuatu. 

Jiwa yang tenang. Yakin. Usaha. Doa. Lalu penyerahan diri.
RI

Mimpi Pergi

ketakutan membakar mimpi
matamu redup
tak lagi kulihat kerlip cahaya disana
yang biasanya memantulkan bayangan wajahku yang bahagia
sehabis menangkap lengkung senyum di bibirmu

apa yang kau khawatirkan, sayang?

katamu dengan datar,
‘aku ingin pergi’
sepersekian detik aku menunggu
kau tak jua melanjutkannya dengan penjelasan

‘kini apa yang salah?’

tak kutanyakan pula perihal penyebabnya
aku hanya menuntunmu
membantu mengepak pakaian, buku-buku,
dan setiap keping kenangan yang ada padanya
aku menangis tapi kesedihanku raup oleh ketakutan

mulutku tertutup
pikiranku liar
hatiku perih dan pedih
mataku kering

derik pintu
membahana
menutup
cahaya mataku
sirna
aku berdiri menyaksikan langkahmu tak henti di ujung mimpiku

kusadari kaulah ketakutanku
kau pula yang membakar mimpiku
lalu pergi begitu saja
seperti asap
yang tak kenal api mana dia berasal

There Is No Other Way

There is no other way. If you have a dream, you have to work on it. Pursue it by action, daydreaming is not enough and it’s not going to make it happen. Action will.

I set up the picture of University of Aberdeen as my phone wallpaper since 3 months ago. Tonight I am staring at it again and think, “it’s not going to be happened unless you do something about it, Ri”.

But see? I don’t know what slows me down. I don’t know. The biggest reason is me, indeed.

Sunshine

Dreams Will Find Their Way

Belakangan ini, saya sering sekali menggebu-gebu berniat ngelakuin sesuatu. Begitu bersemangat melakukan sesuatu di awal-awal. Namun seiring berjalan waktu, semangat yang begitu besar itu makin kesana makin meredup, dan akhirnya gone with the wind. LENYAP tanpa bekas.

Dan kalau diingat-ingat lagi, hal itu bikin nyesek.

Karena sebenarnya saya juga gak suka apa yang saya rencanain, mimpikan jadi nyata, malah harus terkubur hanya dengan alasan yang sebenarnya cuma sebagai excuse.

Dan kalau dipikir-pikir waktu yang telah terbuang percuma tanpa usaha mengarah ke rencana/mimpi itu udah banyak banget.

Jadi sekarang udah saatnya Ri, buat bangkit lagi dari kemalasan dan keterpurukan dari semua excuses yang saya made up sendiri.

Saya sendiri gak pernah bisa ngerasa cukup dengan ini. gak pernah puas. dan selalu mikir, sekarang apa Ri? sekarang apa?

selalu ada pikiran yang bilang “masa cuma seperti ini? come on, you can do more than this

mimpi saya terbesar saat ini adalah bisa publish buku. tapi buku apa itu, saya pun masih belum tau.

rencana lain yang terus mengikuti kayak hantu dan juga jadi alasan saya menulis ini adalah, lanjutin sekolah ke Inggris.

Kalau mikir dua mimpi ini perut saya jadi penuh kupu-kupu terbang. I am so excited.

Mimpi cuma mimpi. Action yang bikin mimpi kita jadi nyata. Yeah, I aware that.

Tadi saking bersemangatnya, saya udah browsing kota di Inggris. Jadi bukan London, Manchester atau Birmingham. Harus kota yang lebih kecil lagi, kota yang seperti Bath- kota yang ada di bukunya The Remains of the Day nya Keizo Ishiguro. Dan akhirnya tadi saya nemu Aberdeen di wilayah Scotland.

University of Aberdeen. Postgraduate International dan ambil Master di Creative Writing.

Which is applicable if I want to choose to be a lecturer in Communication. Besides, I reaally like writing and reading poems.

Bismillah.
Semoga ada jalan, semoga dimudahkan oleh Pencipta dan Maha Berkehendak. Semoga ini bisa jadi motivasi untuk bisa jadi lebih baik lagi, bisa jadi penggerak saya mulai dari sekarang. Dan semoga, semangat malam ini bisa terus ada. tetap ada dan teruuuus adaa.

Sunshine

Dream

Last night I had a weird dream. Like usual.

I can’t remember all the details now. It’s blurry and scatters. But one scene I remember is Mr. Indra was there. He said that the sun was rising in the east. He enjoyed the view of sky. Blue redish sky. So magical. So beautiful. Next thing I knew is I was standing beside him and just looked at the same view with him. Side by side.

You know we can’t control our dream. I found it really strange, though. I was  thinking about Mr. Indra when I awake only because I remember he gave me so many things to improve in my teaching technique.

So why on earth he came in to my dream last night?

I am having stomachache. It hurts. My stomach keeps growling. 😦

Sunshine

Mimpi

Semalam saya bermimpi. Mimpi itu lagi, mimpi yang sama saat saya baru saja pulang ke rumah Telkomas.

Another flight schedule dan lagi-lagi saya melewatkannya. Apa arti mimpi itu? Kenapa saya berulang kali mimpi ingin naik pesawat ke suatu tempat tapi tak pernah jadi?

Dan kenapa Brainwave juga selalu muncul dalam mimpiku? Aneh sekali karena saya tak pernah lagi mengingat-ingat dia saat saya sadar.

Kuharap ada jawabnya.

Sunshine

Bad Dream

Barusan saya mimpi.

Entah saya berada dimana, banyak orang keluar masuk. Rata-rata bule kulit hitam. Ada tempat duduk ini, terbuat dari kulit, mampu menampung banyak orang. Bisa dijadikan perosotan anak-anak.

Kemudian udara bertambah dingin. Keliatan teman-teman lain datang mengenakan jaket tebal. Lalu, kami berkumpul, mengobrol soal teman kami yang menyebar hoax tentang Jokowi yang membagikan galaxy tab buat para wartawan balkot.

Saat penyebar gosip itu datang, kami bubar.

Lalu kami menuju aula besar yang berada di ujung jalan.

Saya datang terlambat. Jalanan ke aula sudah sepi. Langit gelap. Salju turun. Saat tengah ke aula, dari sebuah bagasi mobil saya mendengar suara Isti kedinginan. Dalam mimpi itu, saya meneruskan jalan kaki ke aula. Apapun itu, sudah dimulai. Penonton penuh. Saya belum duduk saat memutuskan kembali ke suara Isti tadi.

Ada anak-anak kecil yang membantu saya mengingat suara Isti berasal dari mobil yang mana.

“yang ini! Dia suruh kami berjaga disini”.

Karena mimpi memang absurd, jadi saya mulai membuka mobil itu dan disitu, tubuh Isti sudah membeku tak bergerak lagi.

Saya berteriak-teriak dan apapun itu yang terjadi di aula sudah selesai. Teman-teman datang dan melihat saya menangis, semua bertanya.

Tak ada yang percaya itu Isti.

Setelah itu saya terbangun.

Dan Isti menelpon.

“Isti? Are you okay?”

Sunshine