Entah sejak kapan saya menyukai puisi-puisi, saya tak ingat persisnya. Satu hal yang begitu jelas kuingat adalah perkenalanku akan puisi tak bisa dipisahkan dengan pertemuanku dengan M Aan Mansyur.
Saat masih mahasiswa, seorang kawan meminjamkan novel karya M Aan Mansyur berjudul Perempuan, Rumah Kenangan miliknya. Saya membacanya dalam satu malam. Saya menyukai ceritanya, seluruhnya dan sekiranya ada nama ‘Riana’ dalam salah satu tokohnya, membuat saya berpikir penulisnya sungguh keren. Hahaha.
Selain novel itu, penulisnya telah menerbitkan buku kumpulan puisi berjudul Hujan Rintih-Rintih (2005). Buku puisinya yang lain adalah Aku Hendak Pindah Rumah (2008), Cinta yang Marah (2009), Tokoh-Tokoh yang Melawan Kita dalam Satu Cerita (2012), Sudahkan Kau Memeluk Dirimu Hari Ini (2012) dan Kepalaku: Kantor Paling Sibuk di Dunia (2014). Buku kumpulan cerpennya yang sangat menarik berjudul Kukila (2012).
Tulisan ini diniatkan untuk menulis semacam review untuk buku puisi yang paling baru berjudul Melihat Api Bekerja (2015). Dan saat menulis ini, tiga hari kedepan Aan Mansyur akan menerbitkan novel lainnya berjudul Lelaki Terakhir yang Menangis di Bumi pada acara Makassar International Writers Festival.
Saya bukan pembaca buku puisi yang intens. Saya merasa sulit untuk memahami puisi. Hal yang saya sukai, terlebih saat membaca puisi-puisi di Melihat Api Bekerja, adalah kata-kata yang begitu campur aduk dijadikan dalam satu kalimat dan begitu memainkan perasaan dan pikiran. Saya sering sekali, setelah membaca satu-dua judul, berhenti sejenak untuk meresapi makna yang tiba-tiba saya pahami, kemudian membuka halaman selanjutnya. Berhasil merasakan pemahaman menjadi satu prestasi tersendiri buat saya.
Memahami puisi mungkin memang seperti itu; butuh ketenangan dan pengetahuan yang amat luas, seluas pengetahuan penulisnya, untuk mengantarkan kita pada jawaban pertanyaan “ini maksudnya apa?”.
Sebab sangat sulit rupanya menulis hal yang tak begitu kukuasai, mungkin akan lebih sederhana jika saya mengumumkan puisi yang amat kusuka dari Melihat Api Bekerja.
1. Belajar Berenang
“Kau jari-jari air yang mengangkatku pelan-pelan ke permukaan. Kau kekuatan yang kutelan dan kuembuskan berulang kali. Kau kepak yang membuat sepasang lenganku bergerak menggapai-gapai”
2.Kau Membakarku Berkali-Kali
“Buat apa kuserahkan hidupku kepada hal-hal lain, jika cinta juga bisa membunuhku. Berkali-kali dan berkali-kali lebih perih.”
3. Barangkali
“Aku tidak ingin menggunakan kebodohanku memilih kata melukai keindahannya. Aku tidak ingin bahasa kehilangan kuasa di hadapan tatapan matanya. Cintaku padanya melampaui jangkauan kata. Aku cuma mampu mengecupkannya dengan mata”
4. Melihat Api Bekerja
“Harapan adalah kalimat larangan, sesuatu yang dihapus para polisi setiap mereka temukan di pintu-pintu toko. Hidup tanpa curiga adalah hidup yang terkutuk. Kawan adalah lawan yang tersenyum kepadamu”
5. Mengingat Pesan Ibu
“Berhenti. Jangan berangkat sebelum tiba”, katanya
6. Langit dan Laut di Timur
“Kita Maluku: kau Buru, aku Aru”
Salah satu hal khusus yang bisa kita jumpai di Melihat Api Bekerja adalah buku ini bukan sekedar pameran kata. Buku ini juga memiliki ilustrasi-ilustrasi yang menarik di setiap judul puisi dari Muhammad Taufiq (Emte).
Hal yang lebih baik lagi adalah tak ada yang lebih bagus dari yang lain. Ilustrasi dan puisinya saling melengkapi satu sama lain, saling memperindah satu sama lain. Ilustrasi, seperti dengan puisinya, memiliki misteri sendiri. Puisi tak memberi makna pada ilustrasinya, begitupula sebaliknya.
RI