Cinta 

Dengarkan,

aku mencintaimu
seperti layang-layang pada angin yang membuatnya tetap terbang
seperti air yang membuat ikan-ikan dalam kolam tetap hidup

aku mencintaimu
seperti kancing dan kemeja
seperti pedal dan kayuh
seperti darah dan jantung
seperti penyair dan kata-kata asing
seperti sesuatu yang tak bisa berfungsi dengan baik
tanpa satu sama lain

aku mencintaimu
saat gelap
saat rabun
saat usang
saat lemah
dengan tabah

aku mencintaimu
dengan kerinduan
seorang bocah belasan tahun
yang pertama kali jatuh cinta

RI

Beberapa Kata Sebelum Tidur

Tak ada kata yang lebih mudah dan indah kuucapkan selain rindu. 

Kau bahkan lebih dekat dari pelupuk mataku. 

Mencintaimu, mencintaimu. 

seperti rasa kantuk dan mata tertutup. 

Temui aku sayang walau sebentar 

Jangan kau bilang tak mau

Dimana tempat yang paling baik untuk bertemu di kala malam telah datang dan gelap meradang?

Aku bahkan tak bisa mengatur mimpiku jadi jangan disana.

Di lenganku saja kepalamu kau sandarkan

Di bibirku saja ujung kepalamu kau rebahkan

Mari istirahat sayang

Berdua kita jelang apapun yang akan datang

RI 

Membakar Mimpi

rasa takut membakar mimpi
matamu redup
tak lagi kulihat kerlip cahaya disana
yang biasanya memantulkan bayangan wajahku yang bahagia
sehabis menangkap lengkung senyum di bibirmu

apa yang kau khawatirkan, sayang?

katamu dengan datar,
‘aku ingin pergi’
sepersekian detik aku menunggu
kau tak jua melanjutkannya dengan penjelasan

‘kini apa yang salah?’

tak kutanyakan pula perihal penyebabnya
aku hanya menuntunmu
membantu mengepak pakaian, buku-buku,
dan setiap keping kenangan yang ada padanya
aku menangis tapi kesedihanku raup oleh ketakutan

mulutku tertutup
pikiranku liar
hatiku perih dan pedih
mataku kering

derik pintu
membahana
menutup
cahaya mataku
sirna
aku berdiri menyaksikan langkahmu tak henti di ujung mimpiku

kusadari kaulah ketakutanku
kau pula yang membakar mimpiku
lalu pergi begitu saja
seperti asap
yang tak kenal api mana dia berasal

Kata-Kata Menjelang Tengah Malam

Pukul dua pagi lewat sepuluh menit. Biasanya saya sudah tidur sejak sejam yang lalu. Tapi hey, it’s holy day for some people who are Christian enough, and luckily we had four days off! And mom’s not here. Everybody’s been sleeping since 11. So, screw with Rhoma Irama, i’m having my stay-up-late post!

Tengah malam

Kata-kata lahir 

Dalam kepala, dalam ruang

Mereka kadang bersuara lebih keras dibanding putaran kipas tua yang masih terus berputar. 

Ambang batas

kata-kata
Lebur

dalam pikiran
kemudian 

Pudar, pendar. 

Lari
Tak perlu kujelaskan 

Hanya itu yang kudengar

Kata-kata menjelang tengah malam.
Setelah kutuliskan

Mereka seharusnya bisa membiarkanku tidur

RI

Tetap Diam

Tetap Diam*
oleh Pablo Neruda

Sekarang kita akan berhitung hingga dua belas
dan jangan bergerak.

untuk sekali saja di atas wajah Bumi,
mari tak berbicara dalam bahasa apapun;
mari berhenti selama sedetik,
dan tidak menggerakkan tangan terlalu banyak.

ini adalah momen yang eksotis,
tanpa gegas, tanpa mesin-mesin;
kita semua akan berkumpul bersama
dalam keanehan yang mendadak.

Nelayan dalam lautan yang dingin
takkan menyakiti seekor paus
dan lelaki pengumpul garam
akan memandangi tangannya yang perih.

orang-orang yang menyiapkan perang-perang hijau,
perang dengan minyak gas, perang dengan api,
kemenangan tanpa korban-korban yang selamat,
akan mengenakan pakaian bersih
dan berjalan bersama saudara-saudara lelaki mereka
dalam bayang-bayang, dalam diam.

apa yang kuinginkan jangan disalahartikan
dengan kemalasan menyeluruh.
Hidup adalah tentang hidup itu sendiri;
Saya ingin tak ada truk kematian.

Jika saja kita tidak begitu bertekad
untuk membuat hidup terus berjalan,
dan kita bisa diam,
mungkin kesunyian yang dalam
mampu menunda kesedihan ini;
kesedihan akan ketidakpahaman diri sendiri
dan kesedihan akan ancaman kematian.

Mungkin dunia dapat mengajarkan kita,
seperti saat segalanya terlihat mati
dan kemudian hidup kembali.

Sekarang saya akan menghitung hingga dua belas,
kau akan diam dan aku akan pergi.

*diterjemahkan secara bebas dari puisi Pablo Neruda berjudul “Keeping Quiet”
RI

Melihat Api Bekerja (2015)

melihat api bekerja

Entah sejak kapan saya menyukai puisi-puisi, saya tak ingat persisnya. Satu hal yang begitu jelas kuingat adalah perkenalanku akan puisi tak bisa dipisahkan dengan pertemuanku dengan M Aan Mansyur.

Saat masih mahasiswa, seorang kawan meminjamkan novel karya M Aan Mansyur berjudul Perempuan, Rumah Kenangan miliknya. Saya membacanya dalam satu malam. Saya menyukai ceritanya, seluruhnya dan sekiranya ada nama ‘Riana’ dalam salah satu tokohnya, membuat saya berpikir penulisnya sungguh keren. Hahaha.

Selain novel itu, penulisnya telah menerbitkan buku kumpulan puisi berjudul Hujan Rintih-Rintih (2005). Buku puisinya yang lain adalah Aku Hendak Pindah Rumah (2008), Cinta yang Marah (2009), Tokoh-Tokoh yang Melawan Kita dalam Satu Cerita (2012), Sudahkan Kau Memeluk Dirimu Hari Ini (2012) dan Kepalaku: Kantor Paling Sibuk di Dunia (2014). Buku kumpulan cerpennya yang sangat menarik berjudul Kukila (2012).

Tulisan ini diniatkan untuk menulis semacam review untuk buku puisi yang paling baru berjudul Melihat Api Bekerja (2015). Dan saat menulis ini, tiga hari kedepan Aan Mansyur akan menerbitkan novel lainnya berjudul Lelaki Terakhir yang Menangis di Bumi pada acara Makassar International Writers Festival.

Saya bukan pembaca buku puisi yang intens. Saya merasa sulit untuk memahami puisi. Hal yang saya sukai, terlebih saat membaca puisi-puisi di Melihat Api Bekerja, adalah kata-kata yang begitu campur aduk dijadikan dalam satu kalimat dan begitu memainkan perasaan dan pikiran. Saya sering sekali, setelah membaca satu-dua judul, berhenti sejenak untuk meresapi makna yang tiba-tiba saya pahami, kemudian membuka halaman selanjutnya. Berhasil merasakan pemahaman menjadi satu prestasi tersendiri buat saya.

Memahami puisi mungkin memang seperti itu; butuh ketenangan dan pengetahuan yang amat luas, seluas pengetahuan penulisnya, untuk mengantarkan kita pada jawaban pertanyaan “ini maksudnya apa?”.

Sebab sangat sulit rupanya menulis hal yang tak begitu kukuasai, mungkin akan lebih sederhana jika saya mengumumkan puisi yang amat kusuka dari Melihat Api Bekerja.

1. Belajar Berenang
“Kau jari-jari air yang mengangkatku pelan-pelan ke permukaan. Kau kekuatan yang kutelan dan kuembuskan berulang kali. Kau kepak yang membuat sepasang lenganku bergerak menggapai-gapai”

2.Kau Membakarku Berkali-Kali
“Buat apa kuserahkan hidupku kepada hal-hal lain, jika cinta juga bisa membunuhku. Berkali-kali dan berkali-kali lebih perih.”

3. Barangkali
“Aku tidak ingin menggunakan kebodohanku memilih kata melukai keindahannya. Aku tidak ingin bahasa kehilangan kuasa di hadapan tatapan matanya. Cintaku padanya melampaui jangkauan kata. Aku cuma mampu mengecupkannya dengan mata”

4. Melihat Api Bekerja
“Harapan adalah kalimat larangan, sesuatu yang dihapus para polisi setiap mereka temukan di pintu-pintu toko. Hidup tanpa curiga adalah hidup yang terkutuk. Kawan adalah lawan yang tersenyum kepadamu”

5. Mengingat Pesan Ibu
“Berhenti. Jangan berangkat sebelum tiba”, katanya

6. Langit dan Laut di Timur
“Kita Maluku: kau Buru, aku Aru”

Salah satu hal khusus yang bisa kita jumpai di Melihat Api Bekerja adalah buku ini bukan sekedar pameran kata. Buku ini juga memiliki ilustrasi-ilustrasi yang menarik di setiap judul puisi dari Muhammad Taufiq (Emte).

Hal yang lebih baik lagi adalah tak ada yang lebih bagus dari yang lain. Ilustrasi dan puisinya saling melengkapi satu sama lain, saling memperindah satu sama lain. Ilustrasi, seperti dengan puisinya, memiliki misteri sendiri. Puisi tak memberi makna pada ilustrasinya, begitupula sebaliknya.

RI

Malam Buta

Pernah suatu ketika langit pecah dan rembulan terbelah tiga. Kau dekap aku. Aku tenggelam dalam lebatnya rasa rindumu pada anak-anak kita yang takkan pernah ada. 

Mari kita berpisah. 

Kau mengucapkannya hanya untuk menyakitiku. Agar aku melepaskanmu dan membiarkanmu menanggung semuanya, kepedihan-kepahitan. 

Anak-anak kita takkan datang, sayang. 

Apa yang tak ada tak usah dirisaukan. Bayang-bayang akhirnya pun hilang saat cahaya redup. 

Aku mencintaimu, istriku dan biarkan aku terus begitu. Meski terang bahkan dalam gelap. 

Aku pun cinta padamu, takkan pernah bisa ku berpikir jenis kehidupan apa yang akan kujalani tanpamu. 

Lalu malam buta menyergap. Memerangkap cahaya dalam matamu. 

Kemudian kita membuat keajaiban. 
RI

Teh Pagi dan Selimut Hangat 

Ingin kutulis bait-bait puisi yang hangat seperti pelukan ibu. 

Tapi aku hanya punya selimut yang cukup menahan dinginnya pagi  masuk dan membuat gigil. 

Dulu jika aku bersin, ibu akan berlari ke arahku dengan segelas teh panas yang uapnya terbang ke udara.

Ibu akan menasehatiku tanpa jeda, betapa kesehatan itu penting

Dan percuma mimpi dan ambisi kita besar jika tubuh tak mampu menopangnya. 

“Kenapa kau brengsek pada tubuhmu sendiri? Makan! Minum ini!” katanya

Lalu ibu akan memberikan kedua lengannya melingkar di seluruh badanku tanpa berkata apa-apa

RI

Senja di Jakarta

Kutulis pesan ini saat senja telah turun di Jakarta dengan ditemani setangkup kenangan pahit dan secangkir kopi tanpa gula di kafe yang namanya mirip dengan nama kota ini di jaman Belanda. 

Hatiku lebih getir dibanding cecap lidah yang mengisap gelapnya minuman yang beralaskan tatakan piring keramik putih. 

anak-anak di depan kafe sedang berlari-kejaran penuh ceria hingga tangan mereka direntangkan bagai sayap. 

mereka tahu takkan bisa terbang. namun seolah-olah saja, rasanya cukup bahagia. 

aku tahu kau takkan membalas pertanyaanku yang lebih mirip pernyataan itu dengan jawaban “ya”.

namun membayangkan kau menyambut tanganku yang kudiamkan di atas meja saja, 

sudah membuatku terbang 

bahagia

dan itu

kadang-kadang 

lebih indah

dari segala realitas yang ada disini. 

dunia butuh lebih banyak sayap dan kebahagiaan. 

RI

Mimpi Pergi

ketakutan membakar mimpi
matamu redup
tak lagi kulihat kerlip cahaya disana
yang biasanya memantulkan bayangan wajahku yang bahagia
sehabis menangkap lengkung senyum di bibirmu

apa yang kau khawatirkan, sayang?

katamu dengan datar,
‘aku ingin pergi’
sepersekian detik aku menunggu
kau tak jua melanjutkannya dengan penjelasan

‘kini apa yang salah?’

tak kutanyakan pula perihal penyebabnya
aku hanya menuntunmu
membantu mengepak pakaian, buku-buku,
dan setiap keping kenangan yang ada padanya
aku menangis tapi kesedihanku raup oleh ketakutan

mulutku tertutup
pikiranku liar
hatiku perih dan pedih
mataku kering

derik pintu
membahana
menutup
cahaya mataku
sirna
aku berdiri menyaksikan langkahmu tak henti di ujung mimpiku

kusadari kaulah ketakutanku
kau pula yang membakar mimpiku
lalu pergi begitu saja
seperti asap
yang tak kenal api mana dia berasal