Mute

I hate it when I talk too much. Rasanya saya ingin memencet tombol rewind dari awal. Saya benci kalau orang bisa salah persepsi tentang apa yang saya katakan. I am not good at talking, make a conversation is not my style.

This night, I want to be a stranger and hope that I don’t have any friends.

I want to runaway.

I hate this feeling.

I need my Mom. I want to come in her belly again. Tidak merasakan apa-apa. Tidak perlu mencemaskan apa-apa. Tak perlu memikirkan apa yang akan terjadi di masa depan.

Please God. I need to take a rest.

Sunshine

Curhat

Saya lebih suka membagi ide, gagasan, pendapat dan pikiran di social media. Untuk curahan hati dan galau-galauan, saya memilih blog untuk menulis semuanya.

Saya merasa seimbang dengan menulisnya disini. Rindu, sedih, marah, bahagia, lebih leluasa saya keluarkan disini dengan tulisan. Cerita pribadi, semuanya.

Tak ada yang membaca juga tak apa, tak ada yang tahu juga tak mengapa. Karena blog ini memang hanya untuk menyalurkan perasaan dan cerita-cerita aneh saya. Buat saya, bukan buat orang lain. For my own pleasure.

Kalau ada yang membacanya juga saya bisa apa.

Tapi ada yang curhat di Twitter, Facebook. Ada. Ada yang menulis tentang how bad her or his feeling after get dumped by her or his love in PM on BBM. Mungkin mereka mau seluruh dunia tahu dengan jelas kehidupannya. Dan bukan dari blog pribadi, tapi dari ranah sosial. Kalian tahu apa bedanya?

Yang satu seperti menangis di jalan raya, yang satu menangis di dalam kamar.

Blog is a personal place. Hanya orang-orang yang mau membaca yang akan tahu. Hanya orang yang mau tahu yang akan membaca perihal kehidupan seseorang.

Socmed is like jalan raya, jalan umum. By tweeting your personal feeling, orang bakalan mikir, ‘gak penting banget nih orang’. Orang lain gak punya pilihan lain selain baca twit-twitmu. Mereka dipaksa tahu sesuatu yang tidak ingin mereka tahu.

Kita mestinya tahu hal-hal yang proper di share di socmed dan mana hal yang proper dibagi di blog aja. Dan yang mana yang gak usah sama sekali jadi konsumsi publik. Be smart. Handphone aja udah smart.

Sunshine

Hal-Hal yang Kusyukuri Hari Ini

Mungkin ada baiknya, di saat sudah berada di rumah atau kosan, sebelum tidur, kita mengingat hal-hal yang membuat kita bahagia di hari itu. Hal-hal yang telah terjadi yang butuh kita syukuri. Seperti,

1. Saya bisa terbangun sebelum adzan Subuh berkumandang dan berhasil mengalahkan kantuk untuk lalu bergegas ambil wudhu dan menunaikan shalat. Hal yang sangat sangat sangat sulit saya lakukan selama ini.

2. Saya cukup tidur. Pegal dan lelah lenyap.

3. Saya bisa menyempatkan waktu untuk mencuci baju.

4. Saya mendapat tiga ucapan terimakasih dari narasumber yang majelis taklim, pesantren dan profilnya sudah saya liput dan hari ini dimuat di Dialog Jumat. Saya merasa bahagia karena bisa berguna buat orang lain.

5. Saya bisa tetap bantu Mama walaupun jauh dengan mentransferkan beberapa dari gaji yang baru masuk hari ini. Saya selalu bahagia bisa membuat Mama lega. Saya sering ingin tersedak dalam tangis hanya karena mendengarnya berucap “Makasih nah, Nak”.

6. Saya nonton drama musikal Ariah sama Lida di Monas dan benar-benar terpukau. Standing ovation! prok, prok, prok.

7. Sampai di kosan dengan selamat.

So, what’s yours guys?

Sunshine

Redaktur DJ

Aku termasuk beruntung bisa pindah ke desk agama. Bukan cuma liputannya yang lebih adem dan menentramkan hati, tapi redakturnya juga baeeeek banget.

Orang kantor panggil dia dengan sebutan Romo. If you ask me why, well, I don’t know the reason either. Nama itu udah ada aja pas aku masuk. Tapi aku gak manggil dia Romo. Gak pernah. Awalnya aku panggil dia Kang Nashih. Tapi karena ditegur sama Laeny bahwa dia mestinya dipanggil Mas, dan aku agak susah menggantinya, jadilah aku jarang manggil dia dengan apa-apa.

Instead, I call him, “Sir”. Hahaha, lucu gak?

Aku belum keluar dari grup bbm Barkot. Dari situ, aku tau kalo redaktur barkot itu luarbiasa kasar dan gak mikir pake hati kalo nyuruh carep. Gak ada kata ‘tolong’, gak ada kata ‘semangat yaa’. Malahan ada redaktur yang kalo ngomong gak pake disaring dulu langsung burst. Kesannya jadi kasar banget. Dan aku gak suka banget sama orang kasar.

Aku jadinya juga kesel kalo dikasarin. Jadinya gak peduli, mau maunya, suka sukanya dia aja mau ngomong gitu. Kafilah berlalu.

Tapi redaktur DJ ini baek. Meskipun kalau deadline, dan aku telat ngumpul berita, dia bisa ngambek dan marah. Marahnya itu diem. Jadi bikin makin gak enak hati.

Aku suka kalau aku ngumpulin berita cepet.

Redaktur ini suka manggil kita ‘dear’ dan suka ngasih semangat. Dan kalo nyuruh pake kata ‘tolong’. dan kalau kita kerjanya bagus, dia bilang ‘makasih, alhamdulillah’. See? Kita kerjanya jadi gak tertekan dan lebih bertanggungjawab karena memang kita mau bukan karena dipaksa.

Alhamdulillah, aku beruntung banget ya Allah. Ramadhan nanti aku gak ngerasain liputan barkot di lapangan panas-panasan. Aku bisa stok berita dari sekarang. Jadi aku bisa ibadah dengan baek. Alhamdulillah, syukur syukur ya Allah. Engkau Maha Pengasih.

Sunshine

Rindu dan Sepi

Rindu menggerayangi lekuk-lekuk hati
Kesepian menggeledah sudut hati yang masih terisi
Dimana bayanganmu membekas?
saat seluruh dirimu merasuk tanpa menyusut sedikitpun
dalam relung jiwa ragaku

Kita dahulu begitu jatuh cinta satu sama lain
bahkan tak sadar betapa sakit yang ditimpakan,
saat lenganku tak lagi menyampir di lenganmu
ketika sela-sela jariku kosong tanpa sambutan jari-jarimu

plat-plat memori yang merekam kisah kita
masih belum usang, masih belum rusak
ia memudar oleh waktu
kapan akan luruh seluruhnya?

Sunshine

Someone

Have you ever felt like so mad yet sad while thinking about someone?
You had memories with him/her, and they made you hurt by memorizing ’em.
you sick about it and then decided not to talk about him/her anymore?

but the more you trying, the more his/her shadow come knock your head.
and then you’re numb now.
Because you don’t have any idea what you supposed to do.
you feel like so crazy and stressed out.

Sunshine

Enjoy Writing

Aku ingin menikmati menulis seperti yang kurasakan saat mulai menulis pertama kalinya, saat berumur 14 tahun.

Tak ada beban. Imajinasiku bebas berkeliaran sesukaku. Tak ada batasan perasaan. Hanya menulis, bercerita, sesuka hati. Dulu kumpulan tulisanku banyak sekali. Dulu belum ada laptop, sayangnya. Aku menulis di kertas-kertas yang tidak terpakai. Menulisnya dengan sabar menggunakan pulpen tinta hitam. Begitu aku ingin membacanya, aku cukup membacanya tanpa harus menyalakan laptop atau gadget seperti sekarang.

Sayangnya, orangtuaku beberapa kali berpindah tempat tinggal. Aku sudah lupa kertas-kertas itu dimana sekarang. Lucu juga mungkin, jika suatu hari aku menemukan tulisan itu lagi.

Sekarang, pekerjaanku sebagian besar adalah menulis. Menulis tak lagi kurasakan bebas, sekarang ada batasnya. Ada batas waktu juga.

Aku beberapa kali membaca, passion is not what you do best, but what you enjoy the most.

Dulu kukira passionku adalah menulis.
Tapi ternyata aku adalah penggila cerita.
Aku suka sekali bercerita. Aku suka membaca karena aku cinta fiksi. Aku bahkan kadang sering mem-fiksi-kan hidupku sendiri.

Tapi apa benar?
Aku, di masa depan, hanya membayangkan aku akan jadi penulis.

Aku pernah membagi mimpiku pada teman-temanku termasuk pada Brainwave.

Sampai sekarang mimpiku masih belum berubah dan juga belum terwujud.

Sunshine

Bravery

Semalam, aku bertelepon dengan Anita. Kami bertelepon, mengobrol apa saja, hingga tak terasa sudah jam 1 dini hari, jam 2 di Makassar.

Hal yang paling kami sering bicarakan adalah tentang pekerjaan. Kami punya profesi yang sama, jurnalis. Bedanya, aku beruntung bekerja di salah satu media nasional di ibukota, sedangkan dia bekerja di media lokal di Makassar.

Tentang Anita, mungkin belum terlalu kubahas di blog ini, tapi saat masih menjadi mahasiswa, dia termasuk yang rajin dan pintar. Aku sendiri, hanya mahasiswa yang datang, mendengar, mencatat, kerja tugas, main, pulang. Tapi Anita beda. Dia mudah paham teori-teori, dia lincah, rajin, dan tekun. Menurutku dan teman-teman lain, dia bakalan jadi dosen suatu hari, seperti teman kami yang tak kalah luarbiasa, Rido, yang sekarang sedang menyelesaikan tesisnya di Tilburg University, Belanda.

“Nit, kita semua percaya sama kamu. Kamu bisa lebih dari sekedar bekerja di situ.”
“Tidak, teman. I am just such a stupid girl”
“I hate it when you said that ‘stupid’ thing”
Dia diam atau tertawa.
“Yang kamu perlukan hanya menjadi sedikit lebih berani”,
“I don’t have any courage”
“Come on, leave your comfort zone”

Aku cuma berpikir bahwa Nita deserve a better place to work karena dia memang mampu do more. Dan modalnya cuma berani, percaya diri, take the risk. Semua orang sukses karena apa coba? Mereka berani, berani mengambil resiko, meninggalkan zona nyaman mereka dan berusaha, bekerja.

Beside, fortune favours the bold, right?

Sunshine

Mean Source

You know, I just hate those narasumbers yang meremehkan reporter. As if they don’t need us to be existed.

Tadi pas wawancara salah satu narsum via telepon, soal penyembelihan hewan halal, dia malah bilang gini.

‘Kan ada itu fatwanya. Kamu udah baca belum?’
‘Belum, Pak. Makanya saya tanya. Fatwa yang mana ya Pak?’.
‘Kamu itu kan wartawan. Mestinya kamu itu cari tahu dulu, blablabla’.
‘Tapi saya butuh statement, Pak. Apa Bapak bisa kasih saya penjelasan sedikit aja?’
‘Gini deh, kamu cari tahu dulu. Nanti telepon saya lagi’.
‘Oh, baik Pak. Nanti saya telepon lagi’.

Lalu, saya googling lah fatwa soal penyembelihan hewan halal.

Saya telepon lagi.

‘saya dapat fatwa nomer sekian, Pak. Apa benar fatwa itu yang dimaksud?’
‘Iya benar’.
‘Jadi yang gak boleh metode penyembelihannya apa aja, Pak?’
‘Ya diluar fatwa itu’.
‘Trus Pak kalau soal yang ini?’
Jaringan mulai bermasalah. Saya ulang pertanyaannya. Dua kali, tiga kali. Last thing I remembered he said:
‘Kamu itu baru belajar jadi wartawan ya?’ nada menyindir.
Telepon ditutup.

Lalu saya kirim sms.
‘Maaf ya Pak, saya memang baru belajar. Maaf juga ya Pak, teleponnya putus-putus, mungkin jaringannya lagi trouble. Jadi saya tulis fatwa itu sebagai statement Bapak aja ya. Saya masih ada yang mau ditanyakan. Kalau Bapak masih sibuk, apa boleh saya telepon sejam lagi?’

SENT.

Dia balas, ‘okay. Rapat dulu ya’.

And guess? I didn’t call him back. my pride is too precious and too high. Sorry to say. Jadinya saya cuma kutip beberapa pernyataan dia yang secuprit itu dan telepon narasumber lain yang lebih bisa menghargai pertanyaan saya lebih dari jawaban-jawaban dia tadi.

Dia gak ngerti apa kalau reporter itu kerjaannya memang bertanya. Dan kita itu tidak wajib tau segala-galanya. Kita cuma wajib cari tau. Dan walaupun kita tau, dan kita tau dari buku atau internet, kita tetap butuh statement.

sunshine
the fail reporter

Tight Deadline

Ah, dashboard via web berubah jadi unyu banget gitu gak sih?

Ahad kemarin, aku baru aja pulang tugas dari Pangkep, liputan pesantren putri IMMIM. Sejak dibayarin ongkos kesana, aku setuju-setuju aja pas ada klien tawarin liputan itu. Toh Pangkep berjarak dua jam dengan mobil ke Makassar, my hometown.

Jadilah, kelar liputan, Sabtu malam aku udah ada di rumah. Rasanya aneh banget. Tita keluar sambut aku sambil bilang, “Is that really you? I am in shock!”

Yah, aku juga ngerasa hal yang sama. Pulang menjadi sesuatu yang aneh kalau kita lakuin itu terhitung cuma tiga bulan sekali. Ketemu Mama, Bapak, dan lima saudara perempuanku. Rasanya priceless banget ngumpul di kamar Warni ngobrol dan ketawa-ketawa, teriak-teriak amburadul gak jelas. Dan malam ditutup dengan makan di depan tivi, di lantai, sama-sama. Makanannya dikit, jadi kita dulu-duluan siapa yang cepet.

The moment I won’t get when I get back to Jakarta, mother-hell city.

Pas setor oleh-oleh dari China, aku senang banget, soalnya gak seperti pas bagiin oleh-oleh dari US tiga tahun yang lalu, Mama juga ngerasa senang dibawain banyak barang bagus. Tita, Meli, Lulu juga kebagian baju dan jam tangan. Warni, Ayu, Bapak juga dapat baju dan dompet. Ah, kalau Mama senang rasanya kayak menang kejuaraan apa gitu, bahagia.

Aku di rumah cuma 24 jam. Kalau dikurangin waktu tidur aku yang mirip kebo, 9 jam, artinya aku cuma 15 jam di rumah. Which is not enough for me. Tapi mau gimana lagi. Kerjaan wait me there, in another city.

Sebelum berangkat ke bandara dan Mama udah packing-in baju aku ke koper baru- koper lamaku rusak-, aku sama beliau pelukan lamaaa banget. Mama minta aku buat kerja aja kembali ke Makassar. Dia gak sanggup jauh-jauh sama anaknya. And she’s cried, I cried, both of us cried without voice.

Dan aku mutusin saat itu juga, begitu kontrak habis aku bakalan quit dari kerjaan aku sekarang begitu aku dapat kerjaan baru. Ini bukan karena aku gak suka kerjaannya, bukan karena aku gak suka kantornya, ini beneran karena Mama mintanya gitu.

Sunshine

PS. Aku niatnya nulis ini lebih panjang, tapi redaktur terus PING! dan nanya progress kerjaan. Ini ditulis sementara ngerjain Mujahidah sih. Rese, kerjaan banyak banget, ampun-ampunan deh.