Menjadwalkan Tertawa

Hari ini sudah berapa kali kamu tertawa?
Hari ini saya belum tertawa sama sekali dan aduhai saya malah menulis tentang itu.

Kemarin saya bertemu dengan Geng Macora. Umroh, Arga dan Vby. Kami mendiskusikan banyak hal hingga magrib. Di salah satu perbincangan, saya jadi tau kalau saya bukan satu-satunya orang yang butuh tertawa dan butuh didengarkan.

Kami semua butuh teman dan tertawa dan disanalah kami kemarin, bertemu dan mengobrol.

Vby bilang alangkah leganya perasaannya bertemu dengan kami, beban masalahnya jadi terasa lebih ringan.
Arga pun bilang di rumah dia tak punya siapapun untuk berbicara dan dia sudah lupa kapan terakhir kali dia tertawa lepas.
Saya pun mengatakan hal yang sama. Tapi saya sedikit lebih beruntung, sebab saya punya dua ponakan yang lucu dan cukup bisa mengobati kesepian saya akan tawa dan teman.
Umroh tidak mengatakan apapun. Tapi saya tau dia pun merasa hal yang sama dan mungkin lebih berat dari kami, sebab ayahnya sakit keras dan harus menjalani pengobatan di rumah sakit sejak didiagnosis dua tahun yang lalu.

Kami berempat berbagi rahasia kecil, mimpi dan opini masa depan. Kupikir pertemuannya cukup produktif. Vby, sang chef, memasak Mozarella Chicken yang enak dan membuatkan kami Teh Hijau Sencha dari Jepang.

Kupikir semakin dewasa seseorang, maka hidup terasa semakin rumit. Tertawa menjadi hal yang sulit. Kalau tidak dijadwalkan, mungkin kita takkan pernah lagi tertawa! Mengerikan bukan?

Ri

Blend In

It’s been 6 months I’ve been working in school and I still feel don’t belong to it. I got these complicated coworkers and sometimes I feel get left behind. I feel unwanted. 

Today I didn’t go to school. I informed them about it and they didn’t respond even only with “okay”. 

This is the first time and the first place I feel difficult to blend myself in. Everybody has already got everyone and they don’t want to take anyone new to join in. 

They never feel like to inform me about anything. I have to ask, I have to know by myself, I have to find out by my own. Nobody wants to try to getting closer to me, nobody wants to joke or something. Everything is so formal and strict. They only joke around with their friends and I don’t understand which part the funny sides.

It’s been 6 months and I don’t have a friend. 

I wish everything will be different in a year. 

Ri

Kemarin

Kemarin, saya dan Nita singgah makan di Coto Lesehan dekat kampus Unhas setelah lari sore. Baru beberapa menit kami makan, tiga bocah pengemis masuk dan meminta uang ke beberapa pelanggan, termasuk ke Nita.

Kupikir Nita tidak akan memberi bocah laki-laki itu apapun. Tapi saya salah duga. 

Nita tidak memberinya uang tapi memesankan dua porsi coto untuk anak itu dan teman-temannya.

“Kenapa ko belikan Nit?”, kutanya.

“Ya daripada saya kasih uang? Mending saya kasih makan”, jawab Nita singkat.

Saya tidak pernah mendapat teman yang seperti itu. Teman lain, ya seringnya tidak peduli sama pengemis dan peminta-minta. Tapi Nita, dia mengajarkan saya untuk mengubah cara kita berbuat baik. Sebab, jika kita memberi mereka uang, mereka bisa salah gunakan. Tapi kalau makanan? Mereka bisa apa selain memakannya?

Tapi sayang sekali, setelah bocah-bocah itu makan, mereka sama sekali tidak berterimakasih pada Nita. Mereka langsung pergi. 

“Sayang sekali, mereka tidak diajarkan berterimakasih”, Nita bilang. 
RI

Stop in One Point

What does it mean?
Apa artinya berhenti pada satu titik?

Andi barusan bilang, “sudahlah Riana, kamu gak usah kemana-mana lagi. Kamu kapan tenang di satu tempat?”

Begitu jawab Andi saat saya ceritain soal rencana daftar beasiswa ke Scotland.

Bukannya saat kita berhenti itu artinya kita udah mati?

Sunshine

Wajah Wajah Asing

Akhirnya wajah familiar itu menjadi asing
Teman yang dulu dekat kini jauh mengapung
Apa yang kekal?
Selain kenangan yang bahkan akan terus tergerus rubuh

Aku tahu yang menjaga kita tetap utuh adalah rasa rindu
Lalu bagaimana jika rindu pun lelap gelap lenyap?

Dan ketika kenangan dan rindu tak ada lagi, apa yang merekatkan kita?
Sungguhpun jarak membentang sepulau, satu samudera, berlapis langit.

Bukankah apa yang utuh di hati takkan terganti oleh yang tak punya hati?

Sunshine

Mute

I hate it when I talk too much. Rasanya saya ingin memencet tombol rewind dari awal. Saya benci kalau orang bisa salah persepsi tentang apa yang saya katakan. I am not good at talking, make a conversation is not my style.

This night, I want to be a stranger and hope that I don’t have any friends.

I want to runaway.

I hate this feeling.

I need my Mom. I want to come in her belly again. Tidak merasakan apa-apa. Tidak perlu mencemaskan apa-apa. Tak perlu memikirkan apa yang akan terjadi di masa depan.

Please God. I need to take a rest.

Sunshine

Bravery

Semalam, aku bertelepon dengan Anita. Kami bertelepon, mengobrol apa saja, hingga tak terasa sudah jam 1 dini hari, jam 2 di Makassar.

Hal yang paling kami sering bicarakan adalah tentang pekerjaan. Kami punya profesi yang sama, jurnalis. Bedanya, aku beruntung bekerja di salah satu media nasional di ibukota, sedangkan dia bekerja di media lokal di Makassar.

Tentang Anita, mungkin belum terlalu kubahas di blog ini, tapi saat masih menjadi mahasiswa, dia termasuk yang rajin dan pintar. Aku sendiri, hanya mahasiswa yang datang, mendengar, mencatat, kerja tugas, main, pulang. Tapi Anita beda. Dia mudah paham teori-teori, dia lincah, rajin, dan tekun. Menurutku dan teman-teman lain, dia bakalan jadi dosen suatu hari, seperti teman kami yang tak kalah luarbiasa, Rido, yang sekarang sedang menyelesaikan tesisnya di Tilburg University, Belanda.

“Nit, kita semua percaya sama kamu. Kamu bisa lebih dari sekedar bekerja di situ.”
“Tidak, teman. I am just such a stupid girl”
“I hate it when you said that ‘stupid’ thing”
Dia diam atau tertawa.
“Yang kamu perlukan hanya menjadi sedikit lebih berani”,
“I don’t have any courage”
“Come on, leave your comfort zone”

Aku cuma berpikir bahwa Nita deserve a better place to work karena dia memang mampu do more. Dan modalnya cuma berani, percaya diri, take the risk. Semua orang sukses karena apa coba? Mereka berani, berani mengambil resiko, meninggalkan zona nyaman mereka dan berusaha, bekerja.

Beside, fortune favours the bold, right?

Sunshine

Friends are Family We Chose

Kadang, aku merasa banyak berhutang budi pada teman-teman dekatku, which is true. Kadang, aku abai. Kadang juga, aku merasa, di saat jauh dari keluarga, mereka lah keluargaku. Mereka menerima aku apa adanya. Bahkan sampai kemarahan, kesedihan, kecerewetan, bawel-bawelku, kecemasanku, cerita-cerita tidak pentingku dan kesombonganku. Semua diriku.

Mereka itu walaupun aku dengan semua buruknya sikap dan sifatku, tetap saja stay. Dan masih mau berteman denganku.

Mereka yang mengenal semua tentang aku. Dan mau kompromi dan memahami aku. Sepenuhnya. Walaupun kadang dengan pertengkaran kecil. Tapi mereka, ajaibnya, masih berada di sampingku. Mendengarku.

Sunshine

Goodbye

Goodbye, Bang Furqon.
Al-Fatihah

Kemarin pagi, saya menerima kabar mengejutkan. Kabar kematian salah satu teman reporter di Jakarta Utara. Reporter beritajakarta.com. Namanya Furqon. Aneh sekali, rasanya seperti mimpi. Dia meninggalkan dunia ini bertepatan dengan saya meninggalkan pos Jakarta Utara untuk kemudian pindah ke desk mingguan Dialog Jumat.

Bang Furqon itu salah satu teman reporter yang paling baik yang saya kenal. Dialah yang selalu saya tanya soal liputan, soal agenda Jakut, soal kontak-kontak narasumber, dan dia selalu membalas bbm, selalu menjawab pertanyaanku. He’s the kindest person.

Dia sempat dirawat di RS Persahabatan selama tiga minggu. Minggu keempat dia tidak muncul-muncul juga di Polres Utara, ternyata dia masuk kamar isolasi. Beberapa hari kemudian ada kabar kalau dia membaik. Namun, kemarin pagi, kabar kematiannya muncul di grup Pena Utara.

Kemarin, sepanjang jalan saya di Kopaja atau busway, atau metromini, tak pernah saya memikirkan yang lain selain mengenang-mengingat Bang Furqon. Hahaha, kami berdua sering sekali dijodoh-jodohkan. Tapi hal itu cuma membuat saya tertawa. Pertemanan antar reporter di utara itu kuat sekali, kita suka bercanda, bermain dan segala macam.

Bang Furqon ternyata sudah punya motor baru Satria Fu, namun belum disentuhnya. Motor lamanya, motor Honda, sering sekali rusak. Motor itu sering sekali dipakainya bekerja liputan dan saya selalu nebeng di motor itu.

Bang Furqon sering sekali mengirimi kita pantulan berita dengan subject ‘Yang Mau Ajah’. Sekarang, tak ada lagi email itu masuk ke inbox emailku.

Apa mau dikata, kematian tak bisa diduga, sungguh. Desi dan aku mengobrol di telepon selama dua jam tadi malam, mengobrolkan banyak sekali tentang Bang Furqon. Kupikir, kebaikan-kebaikannya akan selau diingat, dikenang. Selamat jalan, Bang. Semoga tenang disana.

Sunshine