Kau mengirim pesan singkat bahwa akan menungguku di stasiun Gambir. Aku paham dan membalas dengan 3 huruf: oke.
Pesawat akhirnya mendarat setelah hampir dua jam mengangkasa. Jakarta lagi, Jakarta kemudian. Setelah mengambil koper aku mendorong troli keluar dan betapa terkejutnya aku saat menemukanmu di depanku, tersenyum.
“Hai, how’s the flight dear?”
Aku memelukmu, bahagia. Kau tak pernah mengejutkanku seperti ini.
“Kau bilang akan menjemputku di Gambir!”
“Aku berubah pikiran”
“Naik apa kesini?”
“Damri.”
Kau lalu menarik tanganku sambil mengambil alih troli. Kita lalu berjalan ke halte. Aku masih tersenyum.
Sepuluh menit kemudian kita sudah berada di damri menuju Gambir. Aku tak pernah duduk dalam apapun bersebelahan denganmu. Oh ya, kecuali dalam mobil.
Aku lelah dan kau tahu itu. Kau tidak mengajakku mengobrol apapun tapi malah memberiku air mineral dan sebelah headset. Aku minum lalu memasang sebelah headset itu di telinga kiriku. Musik mengalun, aku menutup mata, memegang tanganmu dan menyandarkan kepalaku di bahumu. Damri berjalan menghadapi kota Jakarta dan kita dengan nyaman duduk bersebelahan di dalamnya.
Saat aku terbangun aku melihatmu sedang tidur dengan damai dengan sebelah headset di telinga kanan. Tinggal satu belokan lagi dan kita akan sampai.
Kita turun. Kau membantuku mengambil koper dari bagasi damri. Setelah itu aku menarik koperku sendiri dan berjalan menuju shelter, mengantri taksi. Kau mengikutiku dari belakang. Masih sore, tapi matahari sudah hampir tenggelam.
Kesadaranku hilang beberapa detik hingga kau tiba-tiba mengambil koperku dan membawanya. Kau lalu memegang kepalaku dan bertanya, “How’s the flight dear? Sudah daritadi ya? Sini aku saja yang bawa kopernya.”
Langkahku terhenti. Aku memandangmu. “Bukankah tadi kau menjemputku di bandara?”
Kau terlihat bingung. “Sayang, aku baru aja sampe. Aku sudah sms kamu kan kalo kita ketemuan di Gambir?”
Pesawat akhirnya mendarat setelah hampir dua jam mengangkasa. Jakarta lagi, Jakarta kemudian. Setelah mengambil koper aku mendorong troli keluar dan membayangkan betapa terkejutnya aku jika menemukanmu di depanku, tersenyum.
“Hai, how’s the flight dear?” Kau akan bertanya seperti itu.
Aku akan memelukmu, bahagia. Kau tak pernah mengejutkanku seperti ini. Aku selalu membayangkan hal dan percakapan ini lah yang terjadi:
“Kau bilang akan menjemputku di Gambir!”
“Aku berubah pikiran”
“Naik apa kesini?”
“Damri.”
Kau lalu menarik tanganku sambil mengambil alih troli. Kita lalu berjalan ke halte. Aku masih tersenyum.
Sepuluh menit kemudian aku sudah berada di damri menuju Gambir. Sendirian. Ah ya, dengan kamu dalam bayanganku yang tetap tidak mengajakku mengobrol apapun tapi malah memberiku air mineral dan sebelah headset. Aku minum lalu memasang sebelah headset itu di telinga kiriku saja. Musik mengalun, aku menutup mata, membayangkan bahwa aku tidur dengan memegang tanganmu dan menyandarkan kepalaku di bahumu. Damri berjalan menghadapi kota Jakarta dan aku dengan nyaman duduk di dalamnya.
Aku turun. Aku membayangkan kau membantuku mengambil koper dari bagasi damri. Setelah itu aku menarik koperku sendiri dan berjalan menuju shelter, mengantri taksi. Masih sore, tapi matahari sudah hampir tenggelam.
“Sayang! Ayo, itu taksinya sudah ada.”
Makassar, 2 Agustus 2012