Jauh dari keluarga dalam waktu yang sangat lama akan menjadi ujian paling berat yang pernah saya rasakan dalam hidup 23 tahunku. Di malam seperti ini, saat telepon tak berbunyi, tak ada pesan ataupun telepon yang mampu menghibur, saya sangat rindu pada keluargaku di Makassar. Saya hanya bisa mengutuki jarak dan dimensi. Saya ingin sekali menarik rumah Telkomas ke Jatiwaringin dan memeluk Mama sambil menangis keras-keras.
Lalu, Bapak akan datang menertawakan kami berdua yang sedang berpelukan. Tita cemburu dan akan berusaha memisahkan kami. Dia juga pasti mau memeluk Mama. Meli, Lulu, Warni dan Ayu akan berkumpul di kamar Mama Bapak lalu kami akan bercerita tentang apa saja, menertawakan apa saja, berkeluh tentang apa saja. Biasanya saya paling sering membuat mereka tertawa dan tersenyum.
Biasanya saat badanku terasa pegal karena jalan seharian atau tidak sengaja jatuh di satu tempat, saya akan mencari Bapak yang biasanya asik menonton televisi. Saya akan memintanya memijit leher dan bahuku bahkan kaki-kakiku. Sekarang, seperti saat ini, badanku pegal seluruhnya, saya hanya bisa memijit diri sendiri sambil merindukan beliau.
Tumpukan baju yang sudah tiga hari saya angkat dari jemuran masih terserak di atas kasur. Saya tak menyentuhnya selama berhari-hari. Tak ada yang menegur, tak ada Mama disini yang bertugas untuk itu. Saya merindukan beliau.
Pekerjaanku luar biasa melelahkan dan menghibur di saat yang sama. Teman-teman baru di kantor semuanya baik dan ramah. Tak ada yang sombong, semuanya senang membantu. Pekerjaanku tak ada masalah, hanya beban produktivitas dan target yang harus ditingkatkan tiap bulannya.
Kadangkala, saat bertemu orang baru, yang jumlahnya sudah tak terhitung, mereka sering sekali terkejut mengetahui asal daerah saya yang begitu jauh. Saya sudah bisa ngobrol dengan aksen disini, walaupun belum begitu lancar. Saya sudah menjelajah ke banyak sekali tempat. Mengalami banyak hal, mengamati banyak orang, mengingat detil-detil. Semuanya pengalaman baru dan harga yang saya tukar untuk itu sungguh sangat mahal.
Ini bagian dari pembelajaran hidup. Jujur, saya kadang juga bingung mendapati diri saya mau menjalani semua ini. Jauh dari keluarga, dari kampung halaman, kenapa?. Saya juga kadang merasa iri jika ada teman yang menikah dan berkeluarga, hidup aman damai sejahtera dengan keluarganya. Dan saya sibuk pindah dari satu tempat ke tempat lain, menemukan teman dan tempat baru. Saya kadang heran mendapati diri saya sudah bisa mengatasi segala keraguan dan ketakutan yang sempat melanda sebelum memulai semua ini. Tapi semua takut dan ragu harus dihadapi, bukan? Karena tak ada cara lain selain itu. Semua badai pasti akan terlewati.
Brainwave sudah tak ada (yeah, he left me twice). Saya rasanya harus mulai dari awal. Jatuh cinta bukan bagian dari rencana, tapi kalau itu terjadi lagi, saya bersyukur. Bukannya saya pemilih atau selera tinggi, tapi sejak remaja saya memang tak pernah tertarik dengan banyak pria. Hanya sedikit yang membuat hati saya ‘tergerak’. Brainwave mungkin merasa saya perempuan yang sulit dan sering menyulitkannya. Haha.
Saya rindu pada kehidupan saya yang dulu di Makassar. Keluarga yang heboh di Telkomas, teman-teman Cals di kampus yang konyol tak terlupakan, produksi film di Gedung Kesenian, ke Gramedia+ nonton film dan kencan berdua dengan Kak Aan, Astamedia Group di BTP, datang ke acara-acara keren seperti nonton teaternya Kak Shinta, kumpul dan bergosip sekalian belanja sama Nita, Isti, Dini, Tya, Ira dan Rahma sampai keliling Makassar sama Brainwave. Semuanya layak dikenang dan dirindu.
Menulis adalah terapi. Teman adalah obat. Keluarga adalah segalanya. Hidup dengan cinta yang melimpah adalah anugerah. Terimakasih, ya Rabb untuk segalanya. Takkan ada rindu jika tak ada jarak, bukan?
Sunshine
Jatiwaringin, 13 Oktober 2012