Reina’s Life | Childhood

Malam itu sedang ada perayaan Hari Kemerdekaan. Tidak seperti sekarang, belasan tahun yang lalu, Hari Kemerdekaan dipenuhi dengan gempita dan suka ria. Puluhan kembang api bertabur di langit. Pengumuman lomba, teriakan semangat dari orangtua yang anaknya meraih juara, entah itu lomba lari karung, lari kelereng, makan kerupuk hingga lomba melukis dan karaoke. Gelak tawa, bermacam-macam kue dan penganan. Setidaknya semua itu pernah terjadi di Desa Tulil.

Pukul sepuluh tepat perayaan usai. Reina dan Randi menggendong hadiahnya yang agak besar. Reina berumur delapan. Randi berumur dua belas. Mereka berjalan di belakang orangtuanya yang juga jalan berjauhan. Reina tampak gembira.

Sampai dia merebahkan badannya di tempat tidur berseprai Little Princess. Dia mendengarkan ibu dan ayahnya bertengkar. Reina tidak tahu apa-apa. Randi lalu menyuruhnya menutup kepalanya dengan bantal. Reina melakukannya tapi ia masih bisa mendengar suara ayahnya yang seperti godam. Ibunya menangis sambil berteriak. Apa yang terjadi? Bukankah tadi mereka baik-baik saja? Reina ketakutan dan menangis dari bawah bantal. Dia terkejut saat bantalnya terlepas.

“Kau menangis?” Ternyata Randi sudah berdiri di ujung tempat tidurnya.
Reina mengangguk.
Randi lalu memasang headset ke walkmannya dan memberinya pada Reina.
Begitu lagu asing terpasang di telinganya yang entah memutar lagu yang tidak diketahuinya, Reina tertidur.

Esoknya, Reina terbangun dan menemukan Ayahnya sudah tidak ada. Ibunya masih tidur dan tampaknya tidak akan melakukan apapun. Randi yang mendapatinya berdiri bingung di depan kamar orangtuanya, lalu menariknya menuju ruang tengah. Randi lalu menyalakan televisi dan menyetel Sailormoon. Dia mendudukkan adiknya di sofa dan menyodorkannya sarapan: roti dengan selai kacang, beberapa iris jeruk dan segelas besar susu.

Sejak saat itu Reina sadar bahwa dia akan bergantung pada kakak laki-lakinya. Dia dan Randi selanjutnya akan berusaha menghidupi diri masing-masing tanpa orangtua.